Jumat, 09 Mei 2008


"
Meal Sister Festival - Miao Etnic"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )

Meal sister festival adalah festival tahunan bagi suku Miao yang merupakan suku minoritas di China. Suku Miao adalah suku minoritas yang populasi paling besar dibanding dengan suku minoritas lainnya di China, bahkan penyebarannya hingga Vietnam dan Thailand Utara (lihat catatan perjalanan saya sebelumnya : Cross Border dan Cambodia & Chiang Mai). Yang menarik dari budaya suku Miao selain pakaian adalah perhiasan di kepala wanita yang berbentuk tanduk kerbau dan adanya adu kerbau yang mirip budaya suku Minang di Indonesia. Saya tidak yakin apakah suku Minang juga merupakan turunan dari suku Miao, selain itu meski mereka mempunyai bahasa sendiri namun mereka tidak mempunyai tulisan





Keunikan dalam Meal Sister Festival ini adalah pakaian yang digunakan para wanitanya yang menggunakan perhiasan perak seberat kuranglebih 21 Kg, selain itu festival ini juga diisi oleh beberapa kegiatan seperti lomba perahu naga, adu kerbau dan balap berkuda. Selain itu Meal Sister Festival juga merupakan "Valentine Day" bagi suku Miao dimana biasanya para wanita yang belum menikah ini merupakan ajang mencari jodoh, maka untuk menarik perhatian para lelaki para wanita suku Miao menghias dirinya secantik mungkin. Semakin banyak perhiasan perak yang digunakan adalah menunjukan status sosial bagi pemakainya, apakah ia berasal dari keluarga berada atau keluarga biasa.



Acara Meal Sister Festival dilaksanakan di 2 desa secara bergantian berturut – turut selama 4 hari,yaitu di desa Taijiang dan desa Sidong. Ada yang menarik selama seminggu saya tinggal bersama suku Miao, saat hendak memasuki desa Sidong saya harus melewati 12 orang wanita yang membawa cawan berisi arak beras dan harus meminumnya hingga habis bila tidak menghabiskannya maka kita tidak diperbolehkan memasuki desa tersebut. Meski agak pahit (dan agak celeng/pening sedikit) saya dapat menghabiskan 12 cawan arak beras tersebut, selain itu setiap wanita yang membawa cawan dibawahnya terdapat kain yang isinya berupa cabai kering yang menandakan bahwa wanita tersebut menolak laki – laki yang meminum arak dari cawannya untuk menjadi suaminya, sedang bila kainya berisi sebatang sumpit maka wanita tersebut bersedia untuk menikah dengan laki – laki yang meminum arak beras dari cawannya.



Adalah Wu Jing, wanita ke 12 yang memberikan cawan kepada saya dan kain yang berisi sebatang sumpit, saya hanya terbengong berfikir apa yang bakal terjadi selanjutnya. Keluarga Wu Jing menawakan kepada saya untuk tinggal di rumahnya dan malam harinya saya diajak makan malam oleh keluarga Wu Jing. Lagi – lagi saat makan berlangsung selalu ditawarkan untuk minum arak beras tersebut. Bila ada yang berkata "he" yang artinya minum maka kita harus minum arak beras tersebut, saya tidak tahu sudah berapa banyak gelas menghabiskan arak beras dan saya hanya berfikir kapan selesainya makan malam bila sebentar – sebentar ada anggota keluarga Wu Jing yang berkata "he". Saat makan malam berakhir saya kembali bengong karena setiap orang selalu memperlihatkan cawan nasinya sambil berkata "Ce Pau" semula saya berfikir "belagu amat sih makan habis saja pakai bilang – bilang", namun kemudian saya tahu artinya bahwa hal tersebut menandakan rasa hormatnya kepada kita bahwa telah makan bersama. Saya hanya melihat ayah dan saudara – saudara Wu Jing nampak "teler" sedangkan Wu Jing hanya duduk di sudut memandang saya. Kemudian Wu Jing kemudian mengajak saya pergi menghadiri pesta api unggun dimana yang hadir menari bersama mengitari api unggun diiringi tabuhan genderang hingga larut malam.




Seselesainya mengikuti pesta api unggun saya pulang dan Wu Jing menyiapkan tempat tidur bagi saya. Saya tidur di ruang tersendiri yang berhias dan ranjang yang ditutupi kain kelambu. Saya berfikir apakah ini kamar pengantin ???. Keesokan paginya saat saya bangun Wu Jing sudah duduk menunggu di depan kamar dan menyiapkan peralatan mandi yang ditaruh dalam sebuah keranjang bagi saya. Setiap hari Wu Jing selalu mendampingi saya kemana saya pergi di sekitar desa Sidong. Suku Miao adalah suku yang ramah bagi pendatang, mereka selalu menyapa (tentu dalam bahasa Miao yang saya tidak mengerti) namun Wu Jing mencoba menterjemahkan kedalam bahasa Mandarin yang saya juga hanya sedikit mengerti.



Setiap sore karena saya menjadi volunteer mengajar bahasa Inggris bagi anak anak di desa lainnya di Kaili yang lumayan jauh dari Sidong tetapi Wu Jing selalu mengantar dan menunggu saya hingga selesai mengajar, sedang malam harinya setiap saat makan malam lagi – lagi min
um arak beras….. Saya tidak tahu apa yang dibicarakan saat orang tua dan saudara Wu Jing mengajak berbicara dengan saya, tetapi saya mencoba untuk mengerti pembicaran mereka. Ayah Wu Jing mengatakan bahwa Wu Jing adalah anak wanita terkecil dalam keluarganya (Wu Jing hanya memiliki seorang kakak laki – laki dan seorang kakak perempuan yang semuanya sudah berkeluarga) kadang sambil bercerita Ayah Wu Jing berkata sambil menerawang… entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Saya mencoba mengatakan bahwa saya adalah "orang asing", yang sedang melakukan "perjalanan" dan akan pergi untuk "pulang".


Saat terakhir saya bersama keluarga Wu Jing dimana saya harus kembali ke kota Guiyang dan selanjutnya menuju kota Guangzhou keluarga Wu Jing mengadakan makan siang bersama saya, lagi – lagi ayah Wu Jing bercerita tentang banyak hal, seperti tentang kehidupan keluarganya sebagai petani (Keluarga Wu Jing adalah petani yang cukup berada di desanya), tentang panen beras serta banyak hal dan tentunya kehidupan Wu Jing. Meski saya juga tahu dia tidak berharap tapi saya melihat tatapan mata seorang ayah yang berharap terhadap anaknya. Ayah Wu Jing berkata "Adalah kehormatan bagi keluarganya untuk menerima saya dan mau tinggal bersama keluraganya, dan kelak kemudian hari saya datang kembali ke Sidong mereka akan menerima saya kembali" dia juga mengatakan terima kasih karena dia juga tahu bahwa saya datang ke Sidong untuk mengajar bahasa Inggris untuk anak – anak desa.



Ketika saya meninggalkan Sidong, Wu Jing mengantarkan saya hingga menaiki perahu untuk menyeberangi sungai (saya lupa nama sungainya dalam bahasa Miao tapi saya lihat di peta nama sungai tersebut adalah Beautiful River) Wu Jing hanya memandang saya sambil melambaikan kain yang dibawanya saat memberikan cawan kepada saya dan berteriak "bahwa dia akan menunggu saya di Langde" (Langde adalah nama desa dimana Wu Jing dilahirkan). Saya hanya bisa menutup mata dan berkata dalam hati "Apakah saya akan kembali ke Langde untuk menemui Wu Jing….. entahlah ….." perahupun berjalan menyeberangi sungai menjauh membawa saya dan memisahkan dengan Wu Jing.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kenapa sesuatu yang begitu indah, dapat begitu membingungkan, mengesalkan, dan kadang menyakitkan...

thanks for your beautiful stories your journey.. i love it