Selasa, 14 Juli 2009

"Menapak Budaya Yang Mulai Terlupakan (1)"

Menembus keremangan malam Jakarta



Berjalan ditengah keremangan malam sepanjang rel kereta api di sekitar stasiun Jatinegara, ada menarik ditengah deru suara kereta api dan debu. Ada satu panggung seadanya dengan perangkat sound system yang memekak telinga, suara sinden menyanyikan tembang mengiringi penari jaipong. Sebut saja kelompok penari jaipong Mekar Munggaran yang berasal dari Karawang ini terdiri atas 5 orang pemain musik yang terdiri penabuh gendang, kecrek, gong dan rebab, 3 orang sinden/penyanyi dan 4 orang penari jaipong.


Berpakaian kebaya ketat dan dandanan yang menor para penari melenggok menari jaipong menanti saweran dari pengunjung yang datang, ada lumayan para penyawer malam itu dan biasanya mereka adalah para penyawer tetap yang selalu datang. Sementara menyanyi sang sinden diantara lagunya menyebut nama penyawer untuk memberikan sawerannya entah untuk penari, sinden maupun pemain musiknya. Dan biasanya para penyawer ini mecoba merayu sebelum memberikan sawerannya, semakin dirayu oleh sinden atau penari maka tak segan si penyawer makin banyak memberikan sawerannya.


Jaipong Karawang atau jaipong kaleran memang agak sedikit berbeda dengan tari jaipong dengan daerah Sunda lainnya, gerakannya lebih ceria dan sedikit menggoda para lelaki belum lagi kerlingan mata si penari atau sinden kepada para penyawer yang entah apa yang ada dipikiran si penyawer ketika memberikan saweran kepada para penari jaipongan ini. Kadang diantara musik tradisional ada selingan dengan musik dangdutan, ini hanya variasi saja agar pengunjung tidak bosan dengan musik tradisional.



Sayangnya keberadaan seni tari jaipong ini mulai ditinggalkan, terlepas dari pro dan kontranya yang kadang gerakan dalam tari jaipongan ini terkesan erotis dan entah sampai kapan budaya jaipongan ini bisa bertahan, termasuk keberadaan kelopok Mekar Munggaran bertahan hidup di daerah pinggiran kota Jakarta yang makin gemerlap dengan gaya metropolisnya.

Senin, 13 April 2009




Living with Yi Minority Ethnic
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )

Suku Yi adalah suku minoritas yang ada dari suku minoritas yang ada di China, populasinya sekitar 7,5 juta lebih dan tinggal kebanyakan di provinsi Sichuan, Yunnan dan Guizhou dan Guangxi Zhuang Autonomous Region. Kehidupan mereka adalah petani dan juga pengrajin (terutama kaum wanitanya).

Tinggal bersama suku minoritas YI adalah bagian dari perjalanan CROSSBORDER THAILAND-MYANMAR-CHINA yang saya lakukan dan hampir separuh perjalanan yang saya tempuh lebih dari setengahnya melalui perjalanan darat dimulai dari Bangkok menuju Mae Sot (kota perbatasan Thailand – Myanmar) kemudian menuju Myanmar melalui kota Myawaddi untuk selanjutnya menuju kota Yangon. Dari Yangon saya melanjutkan perjalanan menuju Inle Lake dan diteruskan menuju kota Mandalay. Selepas mengunjungi kota Mandalay saya menuju kota Kun Ming China (melalui udara) dan menuju desa didaerah Min Le dimana suku Yi banyak bermukim.

Suku Yi adalah penduduk yang cukup ramah sama seperti suku Miao (lihat catatan perjalanan saya “Meal Sister Miao Festival) mereka sangat terbuka menerima kedatangan saya. Sempat bingung saat mencari tempat tinggal di desa tersebut, namun beruntung keluarga Liu dari seorang gadis bernama Qiao Xian menawarkan saya untuk tinggal bersama di rumah mereka.

Ada menarik saat tinggal bersama suku Yi, saat saya berpamitan dengan keluarga Liu, mereka mengadakan semacam upacara. Mereka mengatakan ini merupakan penghormatan bagi saya karena saya mau tinggal bersama mereka, namun bagi saya melihat agak mirip sebuah acara pernikahan namun untuk menghormati mereka saya mengikuti upacara tersebut.

Saya dipakaikan baju semacam jubah berwarna merah dan membawakan kain semacam cadar berwarna merah untuk dipakaikan ke Qia Xian. Kemudian saya dan Qia Xian mengangkat cawan tiga kali, yaitu menghormat untuk leluhur, menghormat untuk orang tua serta saya Qia Xian saling menghormat. Setelah itu saya dan Qia Xian melewati sebuah papan kecil dan tidak boleh terjatuh, saking kecilnya papan tersebut saya dan Qia Xian harus berpelukan. Beruntung kami tidak jatuh dan keluarga Liu sangat senang dan gembira melihat saya dan Qia Xian setelah itu saya diharuskan untuk menggendong Qia Xian menuju pintu keluar.

Seselesainya acara tersebut saya bertanya kepada keluarga Liu apa maksud dari urutan itu upacara itu?, melintasi papan tidak jatuh diartikan sebagai kelak kehidupan keluarga saya akan langgeng dan menggendong Qia Xian diartikan sebagai perjalanan awal menempuh hidup baru kami. Setelah mendengarkan penjelasan itu saya hanya ….bingung…… “maksudnya????”









Faces Of Myanmar

( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )