( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )
Jumat, 16 November 2007
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )
Saat saya menjadi salahsatu pembicara di Sidang APECTEL 35 di Manila – Philippine 22 sampai 27 April 2007, lumayan tegang juga karena baru pertama kali ini berbicara di depan forum internasional yang dihadiri 21 negara anggota APEC termasuk negara – negara besar seperti USA, Jepang, China dan Australia.
Sayang tidak bias mengunjungi istana Malacanang karena area disekitar istana memang sedang ditutup jadi ya sudahlah. Saya tinggal di Makati City sayangnya bagi saya Manila kurang menarik karena tidak ada bedanya dengan Jakarta. Manila (Maynila dalam bahasa Filipino) adalah ibukota dari Filipina. Kota ini terletak di tepi timur Teluk Manila di pulau terbesar dan terutara Filipina, Luzon. Meskipun ada beberapa tempat kemiskinan, kota ini merupakan salah satu kota kosmopolitan dunia dan daerah metropolitannya merupakan pusat ekonomi, budaya, pendidikan dan industri negara ini. Manila sering disebut Mutiara Orient.
Meski melelahkan karena sidang berlangsung setiap hari dari pagi hingga sore hari, kebetulannya mendapat fasilitas kendaraan dari Kedubes RI saya mencoba memanfaatkan waktu makan siang untuk tetap dapat hunting terutama di area Intramuros yang banyak terdapat bangunan peninggalan kolonial Spanyol dulu.
Sejarah (Source : Wikipedia)
Masa Pra-Spanyol : Manila berawal dari sebuah pemukiman muslim di mulut sungai Pasig sepanjang pesisir teluk Manila. Salah satu perkiraan asal namanya adalah dari kata may nilad yang secara harafiah berarti "ada nilad". Nilad sendiri adalah tanaman bakau berbunga putih yang tumbuh di daerah itu.
Pada pertengahan abad ke-16, area sekitar Manila diperintah oleh tiga rajah yaitu: Rajah Sulayman dan Rajah Matanda di komunitas selatan Sungai Pasig dan Rajah Lakandula di utara. Mereka juga mengadakan hubungan dengan Kesultanan Brunei, Sulu, dan Ternate di Cavite.
Kedatangan Spanyol : Pada 1570 sebuah ekspedisi Spanyol di bawah Miguel López de Legazpi menbentuk pendudukan Manila. Bawahannya, Martín de Goiti, pergi dari Cebu dan sesampainya di Manila, ia diterima oleh orang-orang Tagalog muslim. Walau begitu, Goiti tetap menyerang Manila dengan pasukan sebesar 300 orang. Legazpi datang setahun kemudian dan membuat perdamaian dengan para rajah.
Ia membuat sebuah dewan kota dengan anggota 15 orang. Intramuros yang dikelilingi tembok dibangun untuk melindungi para penjajah Spanyol. Pada 10 Juni 1574, Raja Phillip II dari Spanyol memberi gelar Insigne y Siempre Leal Ciudad ("Distinguished and Ever Loyal City") pada Manila. Manila menjadi ibukota Filipina pada 1595 dan menjadi pusat perdagangan perak trans-Pasifik.
China – The Land Of Beauty and Tradition
(Benny "Benjie" Herlambang Photojournal)
Setelah menempuh perjalanan dari Jakarta – Batam - Singapore – Hongkong, perjalanan kami di China dimulai dari kota Shenzhen menuju Beijing dengan berkereta api yang memakan waktu sekitar 22 jam.
Tujuan kami di Beijing adalah Tembok China/Great Wall, satu bangunan karya manusia yang katanya tampak dari bulan. Panjang Tembok China sendiri kurang lebih 6,352 km, mulai dari Shanhai Pass hingga ke Teluk Bohai di sebelah timur yang terletak berhampiran dengan sempadan China dan Manchuria, hingga Lop Nur di sebelah tenggara wilayah Xinjiang. Tembok ini dibangun mulai dari Dinasti Qin (208 SM), Dinasti Han (Abad ke-1 SM), Dinasti Sui (Abad ke-7), Zaman Lima Dinasti dan Sepuluh Negara (1138 - 1198), Maharaja Hongwu hingga Maharaja Wanli pada Dinasti Ming (1368 - 1640)
Forbidden City (Imperial Palace)
Merupakan istana kerajaan selama periode Dinasti Ming dan Dinasti Qing. Dikenal sebagai "Museum Istana", lokasi ini memiliki luas sekitar 720,000 meter persegi, 800 bangunan dan lebih dari 8.000 ruangan
Tiantan / Temple Of Heaven
Dibangun pada tahun 1420, kuil ini dibagun untuk menghormati kaisar Ming dan Qing
Wangfujing Street
Wangfujing Street adalah kawasaan perbelanjaan di Beijing (kalau diJakarta kurang lebih kayak Pasar Baru) sepanjang jalan ini khusus untuk pejalan kaki dan banyak terdapat pertokoan yang menjual bermacam produk mulai dari branded hingga tiruan selain itu di malam harinya kawasan ini terdapat food street market.
Dari Beijing kami melanjutkan perjalanan ke kota Shanghai, kota memiliki kekhasan arsitektur bangunannya yang memadukan arsitek modern barat dan tradisional asia.
Lost In China
Shanghai Bund
Old Shanghai
Shuzhou
Kota Shuzhou terkenal dengan kanal – kanalnya maka Shozhou pun dikenal sebagai Vennisia Timur, salah satu bagian kota kanal yang kami kunjungi ini digunakan sebagai lokasi shooting film Mission Impossible III.
Setelah berkunjung di Shanghai, perjalanan kami lanjutkan dengan berkeretaapi ke Guangzhou dilanjutkan kembali ke Shenzhen
The Beauty, Old and Traditions
China dengan luas negara +/- 9.596.960 Km2 dengan jumlah penduduk +/- 1.298.847.624 jiwa terdiri atas lebih 50 suku, mayoritas adalah suku Han. Namun selain suku mayoritas ada sekitar 56 suku minoritas yang memiliki kebudayaan dan adat yang berbeda.
Perjalananan kembali dari China kami lanjutkan ke Hongkong kemudian Singapore.Total tempuh perjalanan pergi dan pulang yang kami lakukan adalah lebih dari 20.000 Km (Jarak Udara). Di Singapore kami masih menyempatkan untuk hunting night photo di patung Merlion.
Kamis, 15 November 2007
Minggu, 11 November 2007
Potret "Jakarta - Life is Hard"
Sabtu, 10 November 2007
Menanti waktu
- Sesungguhnya manusia berada di dalam kerugian
- Kecuali mereka yang beriman, dan beramal shalih,
- Dan saling berpesan tentang kebenaran, Dan saling berpesan mengenai kesabaran.
QS (103):1-3 Al-Ashr
Interview with Monk
Anak seorang peternak nomaden di Kham - Tibet, cita - citanya sederhana namun mulia "mengabdi kepada sang Budha"
...Keinginan lainnya untuk dapat mengunjungi kota Beijing...
...Ada hal yang tidak memungkinan ia pergi dalam waktu dekat ini...
...Meski dalam keterbatasanya, perkembangan di dunia luarpun ia simak dengan penuh minat...
...disinilah ia tinggal sejak usia 13 tahun..... untuk mengabdi.
“SISA GORESAN SEJARAH” Photo Hunting
Pukul 04.00 subuh kami mulai berkemas mempersiapkan perjalanan menuju RAWA PENING, disini kami mendapatkan penampakan dan inilah hasil penampakan yang didapatkan ….huiiiiih….. keren – keren boo….
Kamis, 08 November 2007
Nyemplung Di Pulau Pramuka
Perahu/kapal ini melayani route Muara Angke – Pulau Untung Jawa – Pulau Pramuka – Pulau Kelapa, dengan kapasitas penumpang semaunya dan tanpa pelampung penyelamat tarifnya pun cukup murah cuma Rp. 25.000 sekali jalan bayar ke kernet diatas kapal persis kayak naik metromini. Lama perjalanan yang ditempuh hingga pulau Pramuka dengan perahu klotok ini sekitar 2,5 jam, sebenarnya ada kapal cepat dengan fasiltas modern dan cukup terjamin keselamatannya yaitu KM Lumba-lumba dan KM Kerapu milik Pemda DKI yang berangkat dari Marina Ancol tarifnya masih sangat terjangkau cuma Rp. 36.000 sekali jalan. Baik dari Angke maupun Marina jadwal keberangkatan hampir bersamaan yaitu pkl. 07.00 dan Pkl. 12.00 sedang kepulangan ke Jakarta dari pulau Pramuka pkl. 10.00 dan pkl. 13.00 (lewat dari itu terpaksa dah nginep semalem lagi tuh di pulau).
Sekitar pkl. 10 saya sampai di Pulau Pramuka yang juga ibukota Kabupaten Kepulauan Seribu, lumayan lah untuk sebuah ukuran pulau terdapat fasilitas rumah sakit dan pemukiman yang tertata. Disana terdapat penginapan milik Pemda (Wisma De Lima) dan 1 (satu) Homestay milik penduduk dan 1 milik PPA, apesnya saat itu semua penginapan saat itu penuh alias fully book oleh para penyelem.
Penduduknya pun cukup ramah menyapa setiap pendatang sementara si pendatang kadang-kadang belagu sambil menenteng peralatan selamnya serasa jagoanya nyelam saja, sementara saya hanya menyelami hidup yang kecemplung di pulau ntah tidur dimana malam nanti. Sementara perut mulai bernyanyi saya mendatangi warung Indomie, iseng-iseng saya bertanya kepada si ibu pemilik warung mengenai keadaan pulau Pramuka. Tidak lama adik si ibu warung datang dan berkenalan dengan saya, dia adalah Pak Yamin (M. Yamin) seorang guru SMA di Pulau Pramuka. Ternyata pak Yamin dan keluarganya menawarkan saya untuk menginap dirumahnya ….. huahhhh senang dan mikir ternyata hari genee… masih ada orang yang mau menolong sesama……
Setelah istirahat sejenak saya berkeliling pulau, bertegur sapa dengan penduduk setempat, sempat malah saya dikira wartawan dari TV. Di pulau ini selain dijadikan based camp para penyelam juga terdapat penangkaran penyu. Disekitar pulau Pramuka terdapat Pulau Panggang, Pulau Karya, Pulau Air dan Pulau Semak Daun semuanya bisa dijangkau dengan menggunakan perahu motor dengan membayar Rp. 2000 untuk satu tujuan pulau (P. Pramuka – P. Karya – P. Panggang) sedang untuk P. Air (milik Ponco Sutowo) dan P. Semak Daun (tidak berpenduduk nah klo yang ini cocok deh untuk ambil sesi foto model selain itu pantainya berpasir putih untuk landscape juga OK ….wuiihhhhh…. bisa juga berenang atau snorkling) tarif nego dengan pemilik ojek perahu. Setelah mengelilingi pulau Pramuka sore harinya saya di ajak pak Yamin mengunjungi rumah adiknya di P. Panggang, sebelum kesana kami sempat mampir ke P. Karya. Di banding di P. Pramuka ternyata di P. Panggang lebih banyak terdapat human interest seperti sore itu para nelayan sedang menurunkan ikan hasil tangkapannya.
Sayangnya nyaris terlewat mengambil foto sunset karena perahu yang saya tumpangi harus menjemput turis jepang yang snorkling disekitar P. Air sedikit sedih karena foto sunset yang terambil hanya sedikit, ujung-ujungnya nggak dapat foto malah jadi kenalan dan foto – foto sama nona-nona Jepang yang baru selesai snorkling… haalaaaaah ….. usaha….usaha……
Sambil iseng saya membeli ikan (namanya lupa) sekitar 6 kiloan cuma seharga Rp. 4000, lumayan lah sekedar bekal makan malam dengan ikan bakar. Selesai makan malam pak Yamin mengajak saya memancing ke laut, kebetulan malam itu pak Yamin merangkap sebagai pemandu pancing untuk para pemancing ikan dari Jakarta. Dengan perahu yang disewa para pemancing kami berangkat,….Gilaaa gelap benar tuh liat kesamping saja tidak ada yang bisa dilihat Cuma ngebayanging klo nabrak karang trus tenggelam siapa yang nolong ya…..
Sepulang memancing ikan sekitar pkl. 04.00 pagi saya langsung menuju pantai menanti sang fajar menyinsing, ternyata cuaca dipagi itu kurang bersahabat alias berkabut jadi sang surya pun malu-malu untuk muncul bengep dah…… sambil menghibur diri saya berjalan menyusur pantai mana tahu ada objek menarik untuk dijadikan sasaran kamera. Dengan diantar oleh pak Yamin, sekitar pukul 1 siang saya kembali ke Jakarta via Marina Ancol dengan menggunakan KM Lumba-lumba (rp. 35.000 o/w). Huah setiap perjalanan memang ada banyak hal yang kita temukan…. Open your eyes … open your heart ….. you will find the world with many much color of life.
“Ketika Lensa Membuka Mata dan Hati”
Namun perjalanan ini menjadi lain ketika kami berada di Merapi pada tanggal 27 Mei 2006, disaat bersamaan terjadi gempa bumi yang melanda Yogya dan sekitaranya
“Ketika Lensa Membuka Mata dan Hati”
Simpati kepada korban bencana alam Gn. Merapi dan gempa bumi Yogyakarta
( Benny “Benjie” Herlambang Photojournal )
Kami berangkat dari Jakarta dengan menempuh perjalanan darat menuju Yogya melalui jalur selatan, sebelum memasuki kota Yogya kami berbelok ke arah kota Magelang dengan tujuan dapat melihat puncak Merapi dari sisi barat namun cuaca saat itu mendung dan kabut sehingga kami tidak dapat melihat puncak Merapi.
Dan kalaupun memang terjadi saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan diri kami dan penduduk yang disekitar Merapi, selain itu bisa saja awan panas (wedhus gembel) bergerak jauh dan cepat hingga mencapai lokasi pemotretan.
Tubuhku berguncang dihempas batu jalanan, hati tergetar menambah kering rerumputan.
Perjalanan inipun seperti menjadi saksi, gembala kecil menangis sedih.
Kawan coba dengar apa jawabnya, ketika ku tanya mengapa.
Bapak ibunya telah lama mati di telan bencana tanah ini.
Sesampainya di laut, kukabarkan semuanya, kepada karang, kepada ombak, kepada matahari. Tetapi semua diam, tetapi semua bisu, tinggal aku sendiri menatap langit.
Barangkali disana ada jawabnya, mengapa di tanah ku terjadi bencana.
Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita.
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang …..”
(Ebiet G. Ade)
Rabu, 07 November 2007
Cambodia & Chiang Mai
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )
Dengan membayar Ha US$ 20 selama dua hari, ternyata bukan hanya transport dan tour guide yang saya dapat, tetapi dia juga mereservasikan tempat untuk diner Apsara Dance performance plus menjadi body guard untuk saya dan dia cukup setia menunggu saya ke semua tempat yang saya kunjungi (he..he.. kapan lagi bisa punya body guard !!!).
Saat saya menikmati diner dan pertujukan tarian Apsara, kebetulan duduk disebelah saya seorang pejabat setingkat dirjen dari Kementerian Land Management, Urban Planning and Construction Kerajaan Cambodia – Mr. Than Vannara. Dia sempat bertanya apa saya berasal dari Thailand ? saya jawab bukan, saya berasal dari Indonesia dan dia langsung menjabat tangan saya dan bercerita tentang pembangunan di sini, bahkan dia meminta saya untuk mempromosikan Cambodia kepada para pengusaha di Indonesia untuk berinvestasi di Cambodia, saya cuma bengong dan berfikir “Emang siapa gue !!! dia pikir gue Duta Besar kalee”.
Dari Bangkok saya langsung menuju stasiun kereta api untuk pergi menuju Chiang Mai yang memakan waktu sekitar 10 jam. Sesampainya di Chiang Mai saya sambil berjalan menuju penginapan sekalian melakukan foto hunting. Keesokan harinya saya bersepeda gunung di pegunungan Doi Pui, seru juga bersepeda menuruni pegunungan meski lengan saya benjut menabrak pohon (maklum saya belum pernah bersepeda offroad downhill). Setelah kurang lebih 4 jam bersepeda, saya kembali ke Chiang Mai untuk beristirahat karena esok harinya saya akan trekking dan caving (menyusuri gua) di daerah Chiang Dao. Di daerah pegunungan Chiang Dao juga tinggal beberapa suku minoritas seperti suku Karen, Lisu, Lahu, Akka, Hmong. Suku – suku ini kebanyakan hidup sebagai petani terutama opium (sejak 10 tahun yang lalu hal ini dilarang oleh pemerintah Thailand) dan juga sebagai pengrajin.
"Pekan Raya Jakarta"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )
Life is Hard “ Kampoeng Moeka Antjol ”
(Benny “Benjie” Herlambang Photojournal)
Kontras kehidupan di Kampung Muka ini terlihat jelas dengan derunya pembangunan apartemen mewah dan pusat perbelanjaan yang makin menghimpit keberadaan kampung ini. Jalan sempit dan becek khas perkampungan kumuh adalah warna dari Kampung Muka yang berada sepadan dengan rel kereta yang menuju Stasiun Beos.
Meski berkesan kumuh, namun demikian para penghuni dari kampung ini cukup ramah seorang ibu pedagang nasi uduk istri sopir taksi ini berasal dari Lampung dan sudah tinggal di perkampungan ini selama 30 tahun mau mengantar kami berkeliling kampung muka ini. Begitu pula dengan para tetangga lainnya kehidupan mereka masih dilingkupi kebersamaan, satu sisi lain kehidupan di Jakarta yang semakin individualis dan penuh dengan kerakusan & ketamakan hidup.
Life is Hard “ Ojek Sepeda ”
(Benny “Benjie” Herlambang Photojournal)
…..di sana kasihku berdiri menunggu di batas waktu yang telah tertentu…..
..... ke Jakarta aku kan kembali walaupun apa yang kan terjadi ke Jakarta aku kan kembali walaupun apa yang kan terjadi.....”
Writen : Tonny Koeswoyo, Vocal : Koes Plus
Selasa, 06 November 2007
In Search Of Harmony
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )
- Anak Kecil Penjual Kue dari Lijiang
- Mei – mei (Adik Perempuan)
- Pelangi Diatas China
- Jalan Pulang