Kamis, 06 November 2008

"In Search”
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )



Jumat, 09 Mei 2008



“Ketika Lensa Membuka Mata dan Hati (2)
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )

Wu Min, seorang wanita suku Miao dari satu desa di Kaili, Guiyang – China, yang sejak tahun 2002 ia telah menjadi seorang pengajar sukarela bahasa Inggris bagi anak – anak di desanya. Karena desanya sering didatangi oleh turis asing, dan kemauannya yang keras bahwa masyarakat desanya harus membuka wawasan dengan menguasai berbahasa Inggris. Dengan kondisi seadanya ia mengajarkan berbahasa Inggris bagi anak – anak, kelasnya adalah ruangan dari sebuah bangunan kosong yang tidak terpakai dan hanya ada 1 papan tulis dan meja seadanya sedang untuk buku – bukunya ia harus mengusahakan secara sendiri untuk membelinya.

Selain bekerja sebagai pengajar sukarela bahasa Inggris, Wu Min juga memberikan layanan informasi kepada para turis mengenai lokasi wisata di daerahnya dan semuanya ia lakukan bukan untuk mendapatkan imbalan tetapi atas usahanya tersebut ia hanya meminta kepada turis yang telah dipandunya untuk secara sukarela mengajar/menjadi native speaker selama kuranglebih 15 menit saja bagi murid – muridnya yang berjumlah 13 orang, dari hal ini pulalah terkadang para turis mengirimkan Wu Min berbagai buku atau alat bantu mengajar lainnya.

Selama 5 hari saya menjadi volunteer mengajar bahasa Inggris bagi anak – anak yang rata – rata berumur 5 hingga 11 tahun (setingkat TK hingga SD). Kelasnya dimulai dari pukul 6 hingga 9 malam yang terbagi dalam 2 kelas, masing – masing kelasnya adalah satu setengah jam setiap harinya karena murid - muridnyanya ada yang baru selesai bersekolah sekitar pukul 4 sore (pendidikan dasar di sekolah milik pemerintah China adalah bebas biaya tanpa ada tambahan biaya apapun). Tidaklah mudah memang untuk menjadi seorang pengajar bagi anak – anak, namun setidaknya itu telah memberikan satu makna tersendiri dari "perjalanan" saya ini.

Mempelajari bahasa Inggris secara aotodidak Wu Min berkeinginan untuk mempelajari bahasa Inggris secara formal untuk dapat meningkatkan kemampuan bahasa dan mengajarnya, membuka wawasan bagi masyarakat desanya terhadap dunia luar serta memberikan pelajaran bahasa Inggris secara sukarela bagi anak – anak di desanya merupakan upaya yang sudah sangat jarang ditemukan dalam kehidupan masyarakat sekarang ini.

Dibandingkan dengan seorang Wu Min, mungkin kita jauh lebih beruntung mendapatkan pendidikan formal bahkan mungkin kita lebih jauh dengan mendapatkan pendidikan setingkat Strata 1 dan 2 yang bahkan kita dapatkan melalui pendidikan di luar negeri…., tapi apakah ilmu yang kita dapatkan tersebut, kita telah berbagi dengan lainnya dan memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar kita ? hanya untuk kepentingan pribadi ? atau dan bahkan hanya untuk melakukan ekspoitasi bagi manu sia lainnya dengan melakukan pembodohan kepada masyarakat ? …Tapi yang jelas ilmu harus disampaikan kepada yang lainnya dan memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dan peradaban manusia

Satu Huruf

sampaikanlah walau satu ayat
sampaikanlah walau satu kalimat
sampaikanlah walau satu kata
sampaikanlah walau satu huruf

ajarkanlah walau satu ayat
ajarkanlah walau hanya sedikit
yang sedikitpun adalah ilmu
ilmu adalah rahmat

tulislah walau satu kata
menjadi kalimat
menyusun paragraf
ceritakan kisah


"
Meal Sister Festival - Miao Etnic"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )

Meal sister festival adalah festival tahunan bagi suku Miao yang merupakan suku minoritas di China. Suku Miao adalah suku minoritas yang populasi paling besar dibanding dengan suku minoritas lainnya di China, bahkan penyebarannya hingga Vietnam dan Thailand Utara (lihat catatan perjalanan saya sebelumnya : Cross Border dan Cambodia & Chiang Mai). Yang menarik dari budaya suku Miao selain pakaian adalah perhiasan di kepala wanita yang berbentuk tanduk kerbau dan adanya adu kerbau yang mirip budaya suku Minang di Indonesia. Saya tidak yakin apakah suku Minang juga merupakan turunan dari suku Miao, selain itu meski mereka mempunyai bahasa sendiri namun mereka tidak mempunyai tulisan





Keunikan dalam Meal Sister Festival ini adalah pakaian yang digunakan para wanitanya yang menggunakan perhiasan perak seberat kuranglebih 21 Kg, selain itu festival ini juga diisi oleh beberapa kegiatan seperti lomba perahu naga, adu kerbau dan balap berkuda. Selain itu Meal Sister Festival juga merupakan "Valentine Day" bagi suku Miao dimana biasanya para wanita yang belum menikah ini merupakan ajang mencari jodoh, maka untuk menarik perhatian para lelaki para wanita suku Miao menghias dirinya secantik mungkin. Semakin banyak perhiasan perak yang digunakan adalah menunjukan status sosial bagi pemakainya, apakah ia berasal dari keluarga berada atau keluarga biasa.



Acara Meal Sister Festival dilaksanakan di 2 desa secara bergantian berturut – turut selama 4 hari,yaitu di desa Taijiang dan desa Sidong. Ada yang menarik selama seminggu saya tinggal bersama suku Miao, saat hendak memasuki desa Sidong saya harus melewati 12 orang wanita yang membawa cawan berisi arak beras dan harus meminumnya hingga habis bila tidak menghabiskannya maka kita tidak diperbolehkan memasuki desa tersebut. Meski agak pahit (dan agak celeng/pening sedikit) saya dapat menghabiskan 12 cawan arak beras tersebut, selain itu setiap wanita yang membawa cawan dibawahnya terdapat kain yang isinya berupa cabai kering yang menandakan bahwa wanita tersebut menolak laki – laki yang meminum arak dari cawannya untuk menjadi suaminya, sedang bila kainya berisi sebatang sumpit maka wanita tersebut bersedia untuk menikah dengan laki – laki yang meminum arak beras dari cawannya.



Adalah Wu Jing, wanita ke 12 yang memberikan cawan kepada saya dan kain yang berisi sebatang sumpit, saya hanya terbengong berfikir apa yang bakal terjadi selanjutnya. Keluarga Wu Jing menawakan kepada saya untuk tinggal di rumahnya dan malam harinya saya diajak makan malam oleh keluarga Wu Jing. Lagi – lagi saat makan berlangsung selalu ditawarkan untuk minum arak beras tersebut. Bila ada yang berkata "he" yang artinya minum maka kita harus minum arak beras tersebut, saya tidak tahu sudah berapa banyak gelas menghabiskan arak beras dan saya hanya berfikir kapan selesainya makan malam bila sebentar – sebentar ada anggota keluarga Wu Jing yang berkata "he". Saat makan malam berakhir saya kembali bengong karena setiap orang selalu memperlihatkan cawan nasinya sambil berkata "Ce Pau" semula saya berfikir "belagu amat sih makan habis saja pakai bilang – bilang", namun kemudian saya tahu artinya bahwa hal tersebut menandakan rasa hormatnya kepada kita bahwa telah makan bersama. Saya hanya melihat ayah dan saudara – saudara Wu Jing nampak "teler" sedangkan Wu Jing hanya duduk di sudut memandang saya. Kemudian Wu Jing kemudian mengajak saya pergi menghadiri pesta api unggun dimana yang hadir menari bersama mengitari api unggun diiringi tabuhan genderang hingga larut malam.




Seselesainya mengikuti pesta api unggun saya pulang dan Wu Jing menyiapkan tempat tidur bagi saya. Saya tidur di ruang tersendiri yang berhias dan ranjang yang ditutupi kain kelambu. Saya berfikir apakah ini kamar pengantin ???. Keesokan paginya saat saya bangun Wu Jing sudah duduk menunggu di depan kamar dan menyiapkan peralatan mandi yang ditaruh dalam sebuah keranjang bagi saya. Setiap hari Wu Jing selalu mendampingi saya kemana saya pergi di sekitar desa Sidong. Suku Miao adalah suku yang ramah bagi pendatang, mereka selalu menyapa (tentu dalam bahasa Miao yang saya tidak mengerti) namun Wu Jing mencoba menterjemahkan kedalam bahasa Mandarin yang saya juga hanya sedikit mengerti.



Setiap sore karena saya menjadi volunteer mengajar bahasa Inggris bagi anak anak di desa lainnya di Kaili yang lumayan jauh dari Sidong tetapi Wu Jing selalu mengantar dan menunggu saya hingga selesai mengajar, sedang malam harinya setiap saat makan malam lagi – lagi min
um arak beras….. Saya tidak tahu apa yang dibicarakan saat orang tua dan saudara Wu Jing mengajak berbicara dengan saya, tetapi saya mencoba untuk mengerti pembicaran mereka. Ayah Wu Jing mengatakan bahwa Wu Jing adalah anak wanita terkecil dalam keluarganya (Wu Jing hanya memiliki seorang kakak laki – laki dan seorang kakak perempuan yang semuanya sudah berkeluarga) kadang sambil bercerita Ayah Wu Jing berkata sambil menerawang… entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Saya mencoba mengatakan bahwa saya adalah "orang asing", yang sedang melakukan "perjalanan" dan akan pergi untuk "pulang".


Saat terakhir saya bersama keluarga Wu Jing dimana saya harus kembali ke kota Guiyang dan selanjutnya menuju kota Guangzhou keluarga Wu Jing mengadakan makan siang bersama saya, lagi – lagi ayah Wu Jing bercerita tentang banyak hal, seperti tentang kehidupan keluarganya sebagai petani (Keluarga Wu Jing adalah petani yang cukup berada di desanya), tentang panen beras serta banyak hal dan tentunya kehidupan Wu Jing. Meski saya juga tahu dia tidak berharap tapi saya melihat tatapan mata seorang ayah yang berharap terhadap anaknya. Ayah Wu Jing berkata "Adalah kehormatan bagi keluarganya untuk menerima saya dan mau tinggal bersama keluraganya, dan kelak kemudian hari saya datang kembali ke Sidong mereka akan menerima saya kembali" dia juga mengatakan terima kasih karena dia juga tahu bahwa saya datang ke Sidong untuk mengajar bahasa Inggris untuk anak – anak desa.



Ketika saya meninggalkan Sidong, Wu Jing mengantarkan saya hingga menaiki perahu untuk menyeberangi sungai (saya lupa nama sungainya dalam bahasa Miao tapi saya lihat di peta nama sungai tersebut adalah Beautiful River) Wu Jing hanya memandang saya sambil melambaikan kain yang dibawanya saat memberikan cawan kepada saya dan berteriak "bahwa dia akan menunggu saya di Langde" (Langde adalah nama desa dimana Wu Jing dilahirkan). Saya hanya bisa menutup mata dan berkata dalam hati "Apakah saya akan kembali ke Langde untuk menemui Wu Jing….. entahlah ….." perahupun berjalan menyeberangi sungai menjauh membawa saya dan memisahkan dengan Wu Jing.

Sabtu, 12 Januari 2008


"Mei - mei / Little Sister"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )



Waktu kau kecil hidupmu amatlah senang..., Tawa dan kadang tangis mengisi hari-harimu..., Perhatian ayah dan bunda penuh kepadamu..., Kelak besar nanti apa yang kan kau lakukan Mei-mei?





City of Melbourne



Draft



"City of Melbourne"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )

Tanggal 13 Nov 2005 - 24 Nov 2005 saya berkesempatan menghadiri undangan dari Australian Communications and Media Authority untuk mengikuti pelatihan di kota Melbourne.

Minggu, 06 Januari 2008

Cross Border Vietnam – China

"Cross Border Vietnam – China"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )

Saat liburan akhir tahun ini saya memanfaatkan untuk melakukan perjalanan ulang ke Vietnam dan China. Berangkat dari Jakarta saya transit di Kualalumpur sebelum menuju Hanoi. Sampai di Hanoi saya stay-over satu malam dikarenakan tertinggal kereta api yang menuju Lao Cai, tujuan saya adalah sebuah kota kecil “Sapa” yang berada di kaki gunung Fansipan yang berketinggian sekitar 4000 meter dpl dan suhu normal adalah 8 hingga 2 derajat celcius. Perjalanan dari Hanoi menuju Lao Cai dengan kereta api ditempuh selama 9 jam, saat sampai di Lao Cai masih sekitar subuh tapi beruntung saya mendapatkan bus yang menuju Sapa. Sesampainya di Sapa saya mencari penginapan namun baru bisa check-in setelah pukul 1 siang, jadi saya hanya bisa duduk menunggu sambil minum “Vietnam coffee” di sebuah café.

Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 7 pagi, didepan café nampak penduduk setempat dengan pakai adatnya berdiri menawarkan souvenir. Sambil iseng saya mengambil beberapa foto mereka, tiba – tiba disisi saya berdiri seorang gadis kecil menawarkan souvenir “buy one from me sir” ucap dia kepada saya. Cukup kagum juga ternyata anak ini cukup lancar berbahasa inggris dengan baik, saya beli sebuah souvenir kecil dari dia.

Lan adalah nama anak tersebut, bila ia tidak sedang bersekolah ia berjualan souvenir di sekitar Sapa. Lan berumur 10 tahun dan bersekolah di sekolah dasar di desanya yang berada cukup jauh dari Sapa, untuk menuju Sapa Lan berjalan kaki selama 2,5 jam dan inilah awal cerita perjalanan saya sebenarnya di Vietnam – mempelajari kehidupan suku minoritas di Vietnam.

Di sekitar Sapa terdapat beberapa suku minoritas Vietnam, yaitu Hmong (terbagi dua ; Black Hmong dan Red Hmong), Dzao, Tay, Giay dan Xa Pho. Lan berasal dari suku Black Hmong, yang juga merupakan suku minoritas terbanyak yang ada di Sapa. Lan bertanya kepada saya apakah saya tinggal di hotel ini? Saya jawab mungkin tapi saya bilang kepada Lan saya ingin tinggal dengan penduduk setempat di desa. Lan menjawab kalau mau jalan – jalan melihat desanya dia bersedia mengantar. Saya memutuskan untuk pergi menuju desa dimana Lan tinggal, berjalan selama 2,5 jam akhirnya saya sampai di desa Ta Van. Lan pun mengajak saya untuk mengunjungi rumahnya dan memperkenalkan dengan orang tuanya yang bernama Lac Cao Kim ...hmmm.. ternyata orang tua Lan baru berusia 25 tahun, tidak lama kemudian datanglah kakeknya Lan yang baru selesai dari ladang... ternyata usia kakek Lan pun baru berusia 40 tahun... (kok seumur gue yak... berarti gue kakeknya Lan).

Meski saya merupakan orang asing tetapi penerimaan mereka sangat ramah menawarkan mimun hingga mengajak makan siang bersama (agak sungkan sih.. tapi nanti kalau nolak malah dinilai tidak sopan jadi saya terima ajakan makan siang bersama keluarga Lan). Bukan hanya makan siang, keluarga Lan pun menawarkan saya untuk tinggal di rumahnya, sekedar basa – basi awalnya saya menolak namun saya terima juga tawaran tersebut karena disinilah saya dapat mempelajari kehidupan suku minoritas Hmong. Saat makan malam mereka menawarkan minuman “Happy Water” sejenis arak yang terbuat dari beras.... rasanya...... kami cukup banyak minum Happy Water ini tapi ini justeru membuat saya dan keluarga Lan semakin akrab.

Suku Hmong dan lainnya berpenghidupan sebagai petani (menanam beras dan jagung) dan juga berternak, selain itu untuk kaum wanitanya adalah pengrajinan sulaman baik tas, pakaian dan lainnya. Ada satu yang cukup menarik dari kehidupan mereka; mereka hanya menebang kayu dari pohon yang ditanamnya sedang pohon yang telah ada di hutan mereka tidak pernah menebangnya, karena kepercayaan mereka untuk menjaga apa yang ada di alam ini – satu filosofi bagaimana manusia menjaga kelestarian alam ternyata sudah ada dalam diri suku Hmong dan lainnya.

Selama 2 hari saya tinggal bersama keluarga Lan, banyak hal yang saya dapatkan mengenai kehidupan suku Hmong. Setiap hari Lan dan ayahnya mengajak saya berkeliling desa dan menuju hutan untuk mengambil kayu, sambil berjalan saya bertanya kepada Lan tentang cita – citanya kelak, jawabannya sangat sederhana “menjadi pemandu wisata” saya kembali bertanya “kenapa?” lalu jawab Lan “karena dengan menjadi pemandu wisata bisa memperkenalkan desanya kepada orang luar dan mereka/pendatang bisa mengetahui bagaimana kehidupan sukunya - tidak terfikir oleh saya jawaban yang terucap dari seorang anak kecil yang baru berusia 10 tahun “mengenalkan adat budaya sukunya”. Ayah Lan juga berkata sebenarnya mereka tidak memiliki cukup biaya untuk menyekolahkan Lan sampai ketingkat yang lebih tinggi (di Vietnam pendidikan dasar/SD pemerintah tidak mengenakan biaya apapun baik SPP, buku atau apapun bahkan seragam pun tidak perlu - cukup pakaian sehari – hari), meski demikian rata – rata penduduknya dapat berbahasa Inggris secara pasif.

Saat saya pamit akan pergi meninggalkan keluarga Lan saya memberikan sejumlah uang, tapi keluarga Lan menampiknya dan mengatakan kepada saya adalah satu kehormatan bagi keluarga mereka menerima saya tinggal bersama mereka. Lan mengatakan kepada saya jangan beri kami uang tapi beli saja souvenir kami, akhinya saya membeli sejumlah souvenir yang dibuat oleh keluarga Lan sebagai ucapan terima kasih dan keluarga Lan pun senang menerimanya – lagi satu etos “bahwa untuk mendapatkan sesuatu (uang) bukan dari meminta – minta atau pemberian orang, akan tetapi dari sebuah usaha jerih payah upaya sendiri”.

Sambil menunggu waktu kembali ke Hanoi, dari desa Ta Van saya pergi menuju desa Cat Cat. Penduduk di desa inipun sangat ramah terhadap pendatang, malam harinya saya menuju Lao Cai untuk kembali ke Hanoi dengan berkereta api.
Sesampainya di Hanoi saya menuju stasiun bis untuk menuju Pefume Pagoda, untuk mencapai Perfume Pagoda saya masih harus menggunakan perahu sejauh 4 km menyusuri sungai Swallow. Pengayuh perahu saya adalah seorang wanita bernama Yen (pengayuh perahu disini memang semuanya wanita), selain sebagai pengayuh perahu Yen juga merangkap sebagai tour guide saya. Sebagai pengayuh perahu penghasilan Yen tidaklah cukup besar, mengayuh perahu pergi – pulang sejauh 8 km Yen hanya mendapatkan penghasilan sebesar 50.000 d (1000 Dong Vietnam = +/- Rp. 800) itupun ia tidak dapatkan setiap hari. Yen tidak pernah mengeluhkan pendapatannya, ia bekerja untuk mendapatkan nafkah berapapun yang ia dapatkan meski hanya dari mengayuh perahu.

Seselesainya dari Perfume Pagoda saya kembali ke Hanoi karena keesokan harinya saya harus menuju China. Dengan menggunakan bis dari Hanoi saya menuju kota Nanning di China, melewati perbatasan antara Vietnam dan China selepas dari imigrasi Vietnam saya berjalan kaki memasuki zona demiliterisasi (Demiliterization Zone/DMZ) kurang lebih sejauh 100 meter. Setelah selesai di imigrasi China saya berganti bis yang menuju kota Nanning untuk selanjutnya menuju kota Guilin untuk bertemu rekan Herpri yang sudah sampai beberapa hari sebelumnya. Perjalanan dengan bis dari Hanoi hingga Nanning ditempuh selama 8 jam dan dari Nanning menuju Guilin dengan bis ditempuh selama 4 jam, lumayan juga duduk 12 jam di bis.

Suhu di Guilin ternyata cukup dingin dan membuat sedikit mengigil saat hunting disekitar kota Guilin, sialnya sepatu saya rusak ketika di Vietnam jadi saya putuskan membeli sepatu baru di Guilin ...harganya cukup murah lho untuk sebuah sepatu trekking. Karena saya masih harus melanjutkan perjalanan ke Guangzhou dan rekan Herpri harus kembali ke Indonesia saya tidak berlama-lama di Guilin. Saya hanya menyusuri sebagian sungai Li saja dengan menggunakan rakit yang dikayuh seorang bapak tua (lupa namanya).

Dari Guilin saya menuju Guangzhou untuk menemui “seseorang” selepas dari Guangzhou saya menuju kota Shenzhen. Semula saya akan merayakan pergantian tahun di Hongkong tetapi saking banyaknya manusia di Avenue Of The Star jadi saya putuskan untuk langsung menuju Makau dengan menggunakan ferry. Sesampainya di Makau saya akan menuju pusat kota tapi cuaca sangat dingin jadi saya menuju airport dan merayakan pergantian tahun di airport Macau dan selanjutnya keesokan paginya saya berangkat menuju Johor Bahru – Malaysia untuk selanjutnya kembali ke Jakarta........