Sabtu, 12 Januari 2008


"Mei - mei / Little Sister"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )



Waktu kau kecil hidupmu amatlah senang..., Tawa dan kadang tangis mengisi hari-harimu..., Perhatian ayah dan bunda penuh kepadamu..., Kelak besar nanti apa yang kan kau lakukan Mei-mei?





City of Melbourne



Draft



"City of Melbourne"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )

Tanggal 13 Nov 2005 - 24 Nov 2005 saya berkesempatan menghadiri undangan dari Australian Communications and Media Authority untuk mengikuti pelatihan di kota Melbourne.

Minggu, 06 Januari 2008

Cross Border Vietnam – China

"Cross Border Vietnam – China"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )

Saat liburan akhir tahun ini saya memanfaatkan untuk melakukan perjalanan ulang ke Vietnam dan China. Berangkat dari Jakarta saya transit di Kualalumpur sebelum menuju Hanoi. Sampai di Hanoi saya stay-over satu malam dikarenakan tertinggal kereta api yang menuju Lao Cai, tujuan saya adalah sebuah kota kecil “Sapa” yang berada di kaki gunung Fansipan yang berketinggian sekitar 4000 meter dpl dan suhu normal adalah 8 hingga 2 derajat celcius. Perjalanan dari Hanoi menuju Lao Cai dengan kereta api ditempuh selama 9 jam, saat sampai di Lao Cai masih sekitar subuh tapi beruntung saya mendapatkan bus yang menuju Sapa. Sesampainya di Sapa saya mencari penginapan namun baru bisa check-in setelah pukul 1 siang, jadi saya hanya bisa duduk menunggu sambil minum “Vietnam coffee” di sebuah café.

Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 7 pagi, didepan café nampak penduduk setempat dengan pakai adatnya berdiri menawarkan souvenir. Sambil iseng saya mengambil beberapa foto mereka, tiba – tiba disisi saya berdiri seorang gadis kecil menawarkan souvenir “buy one from me sir” ucap dia kepada saya. Cukup kagum juga ternyata anak ini cukup lancar berbahasa inggris dengan baik, saya beli sebuah souvenir kecil dari dia.

Lan adalah nama anak tersebut, bila ia tidak sedang bersekolah ia berjualan souvenir di sekitar Sapa. Lan berumur 10 tahun dan bersekolah di sekolah dasar di desanya yang berada cukup jauh dari Sapa, untuk menuju Sapa Lan berjalan kaki selama 2,5 jam dan inilah awal cerita perjalanan saya sebenarnya di Vietnam – mempelajari kehidupan suku minoritas di Vietnam.

Di sekitar Sapa terdapat beberapa suku minoritas Vietnam, yaitu Hmong (terbagi dua ; Black Hmong dan Red Hmong), Dzao, Tay, Giay dan Xa Pho. Lan berasal dari suku Black Hmong, yang juga merupakan suku minoritas terbanyak yang ada di Sapa. Lan bertanya kepada saya apakah saya tinggal di hotel ini? Saya jawab mungkin tapi saya bilang kepada Lan saya ingin tinggal dengan penduduk setempat di desa. Lan menjawab kalau mau jalan – jalan melihat desanya dia bersedia mengantar. Saya memutuskan untuk pergi menuju desa dimana Lan tinggal, berjalan selama 2,5 jam akhirnya saya sampai di desa Ta Van. Lan pun mengajak saya untuk mengunjungi rumahnya dan memperkenalkan dengan orang tuanya yang bernama Lac Cao Kim ...hmmm.. ternyata orang tua Lan baru berusia 25 tahun, tidak lama kemudian datanglah kakeknya Lan yang baru selesai dari ladang... ternyata usia kakek Lan pun baru berusia 40 tahun... (kok seumur gue yak... berarti gue kakeknya Lan).

Meski saya merupakan orang asing tetapi penerimaan mereka sangat ramah menawarkan mimun hingga mengajak makan siang bersama (agak sungkan sih.. tapi nanti kalau nolak malah dinilai tidak sopan jadi saya terima ajakan makan siang bersama keluarga Lan). Bukan hanya makan siang, keluarga Lan pun menawarkan saya untuk tinggal di rumahnya, sekedar basa – basi awalnya saya menolak namun saya terima juga tawaran tersebut karena disinilah saya dapat mempelajari kehidupan suku minoritas Hmong. Saat makan malam mereka menawarkan minuman “Happy Water” sejenis arak yang terbuat dari beras.... rasanya...... kami cukup banyak minum Happy Water ini tapi ini justeru membuat saya dan keluarga Lan semakin akrab.

Suku Hmong dan lainnya berpenghidupan sebagai petani (menanam beras dan jagung) dan juga berternak, selain itu untuk kaum wanitanya adalah pengrajinan sulaman baik tas, pakaian dan lainnya. Ada satu yang cukup menarik dari kehidupan mereka; mereka hanya menebang kayu dari pohon yang ditanamnya sedang pohon yang telah ada di hutan mereka tidak pernah menebangnya, karena kepercayaan mereka untuk menjaga apa yang ada di alam ini – satu filosofi bagaimana manusia menjaga kelestarian alam ternyata sudah ada dalam diri suku Hmong dan lainnya.

Selama 2 hari saya tinggal bersama keluarga Lan, banyak hal yang saya dapatkan mengenai kehidupan suku Hmong. Setiap hari Lan dan ayahnya mengajak saya berkeliling desa dan menuju hutan untuk mengambil kayu, sambil berjalan saya bertanya kepada Lan tentang cita – citanya kelak, jawabannya sangat sederhana “menjadi pemandu wisata” saya kembali bertanya “kenapa?” lalu jawab Lan “karena dengan menjadi pemandu wisata bisa memperkenalkan desanya kepada orang luar dan mereka/pendatang bisa mengetahui bagaimana kehidupan sukunya - tidak terfikir oleh saya jawaban yang terucap dari seorang anak kecil yang baru berusia 10 tahun “mengenalkan adat budaya sukunya”. Ayah Lan juga berkata sebenarnya mereka tidak memiliki cukup biaya untuk menyekolahkan Lan sampai ketingkat yang lebih tinggi (di Vietnam pendidikan dasar/SD pemerintah tidak mengenakan biaya apapun baik SPP, buku atau apapun bahkan seragam pun tidak perlu - cukup pakaian sehari – hari), meski demikian rata – rata penduduknya dapat berbahasa Inggris secara pasif.

Saat saya pamit akan pergi meninggalkan keluarga Lan saya memberikan sejumlah uang, tapi keluarga Lan menampiknya dan mengatakan kepada saya adalah satu kehormatan bagi keluarga mereka menerima saya tinggal bersama mereka. Lan mengatakan kepada saya jangan beri kami uang tapi beli saja souvenir kami, akhinya saya membeli sejumlah souvenir yang dibuat oleh keluarga Lan sebagai ucapan terima kasih dan keluarga Lan pun senang menerimanya – lagi satu etos “bahwa untuk mendapatkan sesuatu (uang) bukan dari meminta – minta atau pemberian orang, akan tetapi dari sebuah usaha jerih payah upaya sendiri”.

Sambil menunggu waktu kembali ke Hanoi, dari desa Ta Van saya pergi menuju desa Cat Cat. Penduduk di desa inipun sangat ramah terhadap pendatang, malam harinya saya menuju Lao Cai untuk kembali ke Hanoi dengan berkereta api.
Sesampainya di Hanoi saya menuju stasiun bis untuk menuju Pefume Pagoda, untuk mencapai Perfume Pagoda saya masih harus menggunakan perahu sejauh 4 km menyusuri sungai Swallow. Pengayuh perahu saya adalah seorang wanita bernama Yen (pengayuh perahu disini memang semuanya wanita), selain sebagai pengayuh perahu Yen juga merangkap sebagai tour guide saya. Sebagai pengayuh perahu penghasilan Yen tidaklah cukup besar, mengayuh perahu pergi – pulang sejauh 8 km Yen hanya mendapatkan penghasilan sebesar 50.000 d (1000 Dong Vietnam = +/- Rp. 800) itupun ia tidak dapatkan setiap hari. Yen tidak pernah mengeluhkan pendapatannya, ia bekerja untuk mendapatkan nafkah berapapun yang ia dapatkan meski hanya dari mengayuh perahu.

Seselesainya dari Perfume Pagoda saya kembali ke Hanoi karena keesokan harinya saya harus menuju China. Dengan menggunakan bis dari Hanoi saya menuju kota Nanning di China, melewati perbatasan antara Vietnam dan China selepas dari imigrasi Vietnam saya berjalan kaki memasuki zona demiliterisasi (Demiliterization Zone/DMZ) kurang lebih sejauh 100 meter. Setelah selesai di imigrasi China saya berganti bis yang menuju kota Nanning untuk selanjutnya menuju kota Guilin untuk bertemu rekan Herpri yang sudah sampai beberapa hari sebelumnya. Perjalanan dengan bis dari Hanoi hingga Nanning ditempuh selama 8 jam dan dari Nanning menuju Guilin dengan bis ditempuh selama 4 jam, lumayan juga duduk 12 jam di bis.

Suhu di Guilin ternyata cukup dingin dan membuat sedikit mengigil saat hunting disekitar kota Guilin, sialnya sepatu saya rusak ketika di Vietnam jadi saya putuskan membeli sepatu baru di Guilin ...harganya cukup murah lho untuk sebuah sepatu trekking. Karena saya masih harus melanjutkan perjalanan ke Guangzhou dan rekan Herpri harus kembali ke Indonesia saya tidak berlama-lama di Guilin. Saya hanya menyusuri sebagian sungai Li saja dengan menggunakan rakit yang dikayuh seorang bapak tua (lupa namanya).

Dari Guilin saya menuju Guangzhou untuk menemui “seseorang” selepas dari Guangzhou saya menuju kota Shenzhen. Semula saya akan merayakan pergantian tahun di Hongkong tetapi saking banyaknya manusia di Avenue Of The Star jadi saya putuskan untuk langsung menuju Makau dengan menggunakan ferry. Sesampainya di Makau saya akan menuju pusat kota tapi cuaca sangat dingin jadi saya menuju airport dan merayakan pergantian tahun di airport Macau dan selanjutnya keesokan paginya saya berangkat menuju Johor Bahru – Malaysia untuk selanjutnya kembali ke Jakarta........