Jumat, 16 November 2007

Penang - "Pulau Ka-Satu"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )

Mynila - "Pearl of the Orient Seas"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )

Saat saya menjadi salahsatu pembicara di Sidang APECTEL 35 di Manila – Philippine 22 sampai 27 April 2007, lumayan tegang juga karena baru pertama kali ini berbicara di depan forum internasional yang dihadiri 21 negara anggota APEC termasuk negara – negara besar seperti USA, Jepang, China dan Australia.

Sayang tidak bias mengunjungi istana Malacanang karena area disekitar istana memang sedang ditutup jadi ya sudahlah. Saya tinggal di Makati City sayangnya bagi saya Manila kurang menarik karena tidak ada bedanya dengan Jakarta. Manila (Maynila dalam bahasa Filipino) adalah ibukota dari Filipina. Kota ini terletak di tepi timur Teluk Manila di pulau terbesar dan terutara Filipina, Luzon. Meskipun ada beberapa tempat kemiskinan, kota ini merupakan salah satu kota kosmopolitan dunia dan daerah metropolitannya merupakan pusat ekonomi, budaya, pendidikan dan industri negara ini. Manila sering disebut Mutiara Orient.

Meski melelahkan karena sidang berlangsung setiap hari dari pagi hingga sore hari, kebetulannya mendapat fasilitas kendaraan dari Kedubes RI saya mencoba memanfaatkan waktu makan siang untuk tetap dapat hunting terutama di area Intramuros yang banyak terdapat bangunan peninggalan kolonial Spanyol dulu.

Sejarah (Source : Wikipedia)

Masa Pra-Spanyol : Manila berawal dari sebuah pemukiman muslim di mulut sungai Pasig sepanjang pesisir teluk Manila. Salah satu perkiraan asal namanya adalah dari kata may nilad yang secara harafiah berarti "ada nilad". Nilad sendiri adalah tanaman bakau berbunga putih yang tumbuh di daerah itu.
Pada pertengahan abad ke-16, area sekitar Manila diperintah oleh tiga rajah yaitu: Rajah Sulayman dan Rajah Matanda di komunitas selatan Sungai Pasig dan Rajah Lakandula di utara. Mereka juga mengadakan hubungan dengan Kesultanan Brunei, Sulu, dan Ternate di Cavite.

Kedatangan Spanyol : Pada 1570 sebuah ekspedisi Spanyol di bawah Miguel López de Legazpi menbentuk pendudukan Manila. Bawahannya, Martín de Goiti, pergi dari Cebu dan sesampainya di Manila, ia diterima oleh orang-orang Tagalog muslim. Walau begitu, Goiti tetap menyerang Manila dengan pasukan sebesar 300 orang. Legazpi datang setahun kemudian dan membuat perdamaian dengan para rajah.
Ia membuat sebuah dewan kota dengan anggota 15 orang. Intramuros yang dikelilingi tembok dibangun untuk melindungi para penjajah Spanyol. Pada 10 Juni 1574, Raja Phillip II dari Spanyol memberi gelar Insigne y Siempre Leal Ciudad ("Distinguished and Ever Loyal City") pada Manila. Manila menjadi ibukota Filipina pada 1595 dan menjadi pusat perdagangan perak trans-Pasifik.

Vietnam - "The Hidden Treasure"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )

China – The Land Of Beauty and Tradition

Memanfaatkan liburan cuti tahunan saya merencanakan napak tilas perjalanan ke China bersama rekan Franky Tobing, meski bagi saya perjalanan ini adalah untuk ke tiga kalinya ke China namun bagi saya China masih menyisakan “mystery” adat dan budaya.

China – "The Land Of Beauty and Tradition”
(Benny "Benjie" Herlambang Photojournal)

Setelah menempuh perjalanan dari Jakarta – Batam - Singapore – Hongkong, perjalanan kami di China dimulai dari kota Shenzhen menuju Beijing dengan berkereta api yang memakan waktu sekitar 22 jam.
Tujuan kami di Beijing adalah Tembok China/Great Wall, satu bangunan karya manusia yang katanya tampak dari bulan. Panjang Tembok China sendiri kurang lebih 6,352 km, mulai dari Shanhai Pass hingga ke Teluk Bohai di sebelah timur yang terletak berhampiran dengan sempadan China dan Manchuria, hingga Lop Nur di sebelah tenggara wilayah Xinjiang. Tembok ini dibangun mulai dari Dinasti Qin (208 SM), Dinasti Han (Abad ke-1 SM), Dinasti Sui (Abad ke-7), Zaman Lima Dinasti dan Sepuluh Negara (1138 - 1198), Maharaja Hongwu hingga Maharaja Wanli pada Dinasti Ming (1368 - 1640)



Forbidden City (Imperial Palace)
Merupakan istana kerajaan selama periode Dinasti Ming dan Dinasti Qing. Dikenal sebagai "Museum Istana", lokasi ini memiliki luas sekitar 720,000 meter persegi, 800 bangunan dan lebih dari 8.000 ruangan

Tiantan / Temple Of Heaven
Dibangun pada tahun 1420, kuil ini dibagun untuk menghormati kaisar Ming dan Qing

Wangfujing Street
Wangfujing Street adalah kawasaan perbelanjaan di Beijing (kalau diJakarta kurang lebih kayak Pasar Baru) sepanjang jalan ini khusus untuk pejalan kaki dan banyak terdapat pertokoan yang menjual bermacam produk mulai dari branded hingga tiruan selain itu di malam harinya kawasan ini terdapat food street market.

Dari Beijing kami melanjutkan perjalanan ke kota Shanghai, kota memiliki kekhasan arsitektur bangunannya yang memadukan arsitek modern barat dan tradisional asia.


Lost In China

Shanghai Bund

Old Shanghai

Shuzhou
Kota Shuzhou terkenal dengan kanal – kanalnya maka Shozhou pun dikenal sebagai Vennisia Timur, salah satu bagian kota kanal yang kami kunjungi ini digunakan sebagai lokasi shooting film Mission Impossible III.
Setelah berkunjung di Shanghai, perjalanan kami lanjutkan dengan berkeretaapi ke Guangzhou dilanjutkan kembali ke Shenzhen

The Beauty, Old and Traditions
China dengan luas negara +/- 9.596.960 Km2 dengan jumlah penduduk +/- 1.298.847.624 jiwa terdiri atas lebih 50 suku, mayoritas adalah suku Han. Namun selain suku mayoritas ada sekitar 56 suku minoritas yang memiliki kebudayaan dan adat yang berbeda.

Perjalananan kembali dari China kami lanjutkan ke Hongkong kemudian Singapore.Total tempuh perjalanan pergi dan pulang yang kami lakukan adalah lebih dari 20.000 Km (Jarak Udara). Di Singapore kami masih menyempatkan untuk hunting night photo di patung Merlion.

Kamis, 15 November 2007

Potret "Shadows Of The Light"








Minggu, 11 November 2007

Potret "Jakarta - Life is Hard"



Kepada siapakah mereka berharap?
Akankah mereka tahu tidak ada lagi orang yang peduli?
Mereka tidak pernah berharap kepada siapapun - selain kepada diri mereka sendiri

Sabtu, 10 November 2007

Menanti waktu



Menanti Waktu
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )

Demi Waktu
- Sesungguhnya manusia berada di dalam kerugian
- Kecuali mereka yang beriman, dan beramal shalih,
- Dan saling berpesan tentang kebenaran, Dan saling berpesan mengenai kesabaran.
QS (103):1-3 Al-Ashr

Interview with Monk

Interview with Monk
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )

Anak seorang peternak nomaden di Kham - Tibet, cita - citanya sederhana namun mulia "mengabdi kepada sang Budha"

...Keinginan lainnya untuk dapat mengunjungi kota Beijing...

...Ada hal yang tidak memungkinan ia pergi dalam waktu dekat ini...

...Meski dalam keterbatasanya, perkembangan di dunia luarpun ia simak dengan penuh minat...

...disinilah ia tinggal sejak usia 13 tahun..... untuk mengabdi.

Potret "Stasiun Beos - Kota"







Potret "Kampung Muka - Ancol"








“SISA GORESAN SEJARAH” Photo Hunting

Dari diskusi setelah sesi workshop bersama Prima Imaging beberapa waktu lalu, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat hunting ke daerah Semarang. Target lokasi di Semarang adalah Kelenteng Sam Pho Kong, daerah Johar kota tua Semarang dan gedung tua yang katanya angker “Lawang Sewu” juga daerah disekitar Bandungan Rawapening, Stasiun Kereta Api Ambarawa dan Gedung Songo pada tanggal 10 hingga 12 November 2006.

“SISA GORESAN SEJARAH” Photo Hunting

Berdelepan team photo hunting kali ini Frenky, Irawan, Ruki, Alex, Diah, Herpri, Benny dan rekan hunting Yedy berangkat menuju Semarang, targetnya jelas “memburu penampakan” dari sisa – sisa sejarang yang masih tertinggal. Sesampainya di Semarang kami tidak banyak membuang waktu, setelah mengisi perut (maklum karena menggunakan airline bertarif murah di pesawat tidak disediakan makanan) kami langsung menuju lokasi KELENTENG SAM PHO KONG sekitar pukul 23.00.

Selesai mengejar penampakan pertama di KELENTENG SAM PHO KONG, kami melanjutkan perjalanan menuju BANDUNGAN untuk beristirahat “….. zzzzzzzz ….. zzz…..” (bobo dulu ah)….
Pukul 04.00 subuh kami mulai berkemas mempersiapkan perjalanan menuju RAWA PENING, disini kami mendapatkan penampakan dan inilah hasil penampakan yang didapatkan ….huiiiiih….. keren – keren boo….
Setelah puas mengejar penampakan di RAWA PENING kami melanjutkan daerah perburuan selanjutnya “STASIUN KERETA TUA” di Ambarawa

Sambil istirahat sejenak kami mempersiapkan target selanjutnya GEDUNG SONGO. Meski sore cuaca cukup cerah namun untuk bisa mencapai setiap candi yang berjumlah sembilan jalan menuju lokasi setiap candi hingga ke candi ke sembilan ternyata sangat menanjak. Namun lagi – lagi meski kami kelelahan semuanya terbayarkan dengan penampakan yang didapat.
Karena penasaran di RAWA PENING, keesokan subuhnya kami kembali mengejar penampakan matahari terbit. Puas menjerat penampakan dengan kamera, kami berkeliling danau dengan menyewa perahu penduduk setempat.

Kembali ke kota Semarang kami menuju daerah Johar, dimana banyak gedung – gedung peninggalan jaman kumpeni dulu. Target kami disini mengejar penampakan GEREJA BLENDUK dan gedung tua lainnya.Terakhir kami mengejar penampakan di satu gedung yang konon menurut cerita memang terkenal angker yaitu gedung “LAWANG SEWU”

Kurang lebih jam 2 siang kami mengakhiri perburuan penampakan dari “Sisa Goresan Sejarah” yang masih tersisa di Semarang dan sekitarnya. Banyak pelajaran yang kami dapat dari pengejaran penampakan kali ini, mulai praktek langsung fotografi hingga cerita tentang lokasi – lokasi penampakan yang kami kunjungi. Sambil menuju ke bandara kami sempat mendengar lagu di radio sebuah lagu lama dari group musik lama … “Ke Jakarta aku kan kembaliiii …… walau apapun yang terjadi……..”

Kamis, 08 November 2007

Nyemplung Di Pulau Pramuka


Nyemplung (or kecebur) Di Pulau Pramuka
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )

Semula saya akan melakukan treking ke Gn. Halimun tapi entah kenapa sebelum masuk Cawang pikiran saya berubah menjadi ke Muara Angke. Sesampainya di pasar ikan Muara Angke jalan becek dan bau amis menusuk hidung (untung bukan jantung) sayang saya datang kesiangan sekitar pkl. 7 pagi padahal kalau pagian dikit disana ada aktifitas nelayan menurunkan ikan, kegiatan pelelangan ikan dan para pedagang ikan yang sedang bertransaksi berjulan ikan. Agak frustrasi saya duduk sambil ngopi di warung kopi sambil tanya-tanya kepada bapak pedagang warung kopi dimana ada kapal/perahu ke pulau seribu. Gayung bersambut….. si bapak sampai menunjuk jarinya “tuh” kapalnya dah nunggu. Ternyata kapal yang dimaksud adalah kapal Klotok …..penumpang…… wah pada duduk diatas atap kapal persis penumpang KRL. Tanggung nyemplung di Muara Angke saya naik juga tuh kapal, sekitar jam 07.30 perahu klotok berangkat dari dermaga menuju ke kepulauan seribu.

Perahu/kapal ini melayani route Muara Angke – Pulau Untung Jawa – Pulau Pramuka – Pulau Kelapa, dengan kapasitas penumpang semaunya dan tanpa pelampung penyelamat tarifnya pun cukup murah cuma Rp. 25.000 sekali jalan bayar ke kernet diatas kapal persis kayak naik metromini. Lama perjalanan yang ditempuh hingga pulau Pramuka dengan perahu klotok ini sekitar 2,5 jam, sebenarnya ada kapal cepat dengan fasiltas modern dan cukup terjamin keselamatannya yaitu KM Lumba-lumba dan KM Kerapu milik Pemda DKI yang berangkat dari Marina Ancol tarifnya masih sangat terjangkau cuma Rp. 36.000 sekali jalan. Baik dari Angke maupun Marina jadwal keberangkatan hampir bersamaan yaitu pkl. 07.00 dan Pkl. 12.00 sedang kepulangan ke Jakarta dari pulau Pramuka pkl. 10.00 dan pkl. 13.00 (lewat dari itu terpaksa dah nginep semalem lagi tuh di pulau).

Sekitar pkl. 10 saya sampai di Pulau Pramuka yang juga ibukota Kabupaten Kepulauan Seribu, lumayan lah untuk sebuah ukuran pulau terdapat fasilitas rumah sakit dan pemukiman yang tertata. Disana terdapat penginapan milik Pemda (Wisma De Lima) dan 1 (satu) Homestay milik penduduk dan 1 milik PPA, apesnya saat itu semua penginapan saat itu penuh alias fully book oleh para penyelem.
Penduduknya pun cukup ramah menyapa setiap pendatang sementara si pendatang kadang-kadang belagu sambil menenteng peralatan selamnya serasa jagoanya nyelam saja, sementara saya hanya menyelami hidup yang kecemplung di pulau ntah tidur dimana malam nanti. Sementara perut mulai bernyanyi saya mendatangi warung Indomie, iseng-iseng saya bertanya kepada si ibu pemilik warung mengenai keadaan pulau Pramuka. Tidak lama adik si ibu warung datang dan berkenalan dengan saya, dia adalah Pak Yamin (M. Yamin) seorang guru SMA di Pulau Pramuka. Ternyata pak Yamin dan keluarganya menawarkan saya untuk menginap dirumahnya ….. huahhhh senang dan mikir ternyata hari genee… masih ada orang yang mau menolong sesama……

Setelah istirahat sejenak saya berkeliling pulau, bertegur sapa dengan penduduk setempat, sempat malah saya dikira wartawan dari TV. Di pulau ini selain dijadikan based camp para penyelam juga terdapat penangkaran penyu. Disekitar pulau Pramuka terdapat Pulau Panggang, Pulau Karya, Pulau Air dan Pulau Semak Daun semuanya bisa dijangkau dengan menggunakan perahu motor dengan membayar Rp. 2000 untuk satu tujuan pulau (P. Pramuka – P. Karya – P. Panggang) sedang untuk P. Air (milik Ponco Sutowo) dan P. Semak Daun (tidak berpenduduk nah klo yang ini cocok deh untuk ambil sesi foto model selain itu pantainya berpasir putih untuk landscape juga OK ….wuiihhhhh…. bisa juga berenang atau snorkling) tarif nego dengan pemilik ojek perahu. Setelah mengelilingi pulau Pramuka sore harinya saya di ajak pak Yamin mengunjungi rumah adiknya di P. Panggang, sebelum kesana kami sempat mampir ke P. Karya. Di banding di P. Pramuka ternyata di P. Panggang lebih banyak terdapat human interest seperti sore itu para nelayan sedang menurunkan ikan hasil tangkapannya.

Sayangnya nyaris terlewat mengambil foto sunset karena perahu yang saya tumpangi harus menjemput turis jepang yang snorkling disekitar P. Air sedikit sedih karena foto sunset yang terambil hanya sedikit, ujung-ujungnya nggak dapat foto malah jadi kenalan dan foto – foto sama nona-nona Jepang yang baru selesai snorkling… haalaaaaah ….. usaha….usaha……

Sambil iseng saya membeli ikan (namanya lupa) sekitar 6 kiloan cuma seharga Rp. 4000, lumayan lah sekedar bekal makan malam dengan ikan bakar. Selesai makan malam pak Yamin mengajak saya memancing ke laut, kebetulan malam itu pak Yamin merangkap sebagai pemandu pancing untuk para pemancing ikan dari Jakarta. Dengan perahu yang disewa para pemancing kami berangkat,….Gilaaa gelap benar tuh liat kesamping saja tidak ada yang bisa dilihat Cuma ngebayanging klo nabrak karang trus tenggelam siapa yang nolong ya…..

Sepulang memancing ikan sekitar pkl. 04.00 pagi saya langsung menuju pantai menanti sang fajar menyinsing, ternyata cuaca dipagi itu kurang bersahabat alias berkabut jadi sang surya pun malu-malu untuk muncul bengep dah…… sambil menghibur diri saya berjalan menyusur pantai mana tahu ada objek menarik untuk dijadikan sasaran kamera. Dengan diantar oleh pak Yamin, sekitar pukul 1 siang saya kembali ke Jakarta via Marina Ancol dengan menggunakan KM Lumba-lumba (rp. 35.000 o/w). Huah setiap perjalanan memang ada banyak hal yang kita temukan…. Open your eyes … open your heart ….. you will find the world with many much color of life.

“Ketika Lensa Membuka Mata dan Hati”


Perjalanan saya kali ini semula hanyalah memanfaatkan waktu libur panjang pada tanggal 25 hingga 28 Mei 2006 lalu. Saya berempat dengan rekan Irawan, Ruki serta Indra merencanakan pergi Yogya untuk hunting foto di pegungan Merapi, yang saat itu sedang dalam keadaan status siaga.
Namun perjalanan ini menjadi lain ketika kami berada di Merapi pada tanggal 27 Mei 2006, disaat bersamaan terjadi gempa bumi yang melanda Yogya dan sekitaranya



“Ketika Lensa Membuka Mata dan Hati”
Simpati kepada korban bencana alam Gn. Merapi dan gempa bumi Yogyakarta
( Benny “Benjie” Herlambang Photojournal )


Kami berangkat dari Jakarta dengan menempuh perjalanan darat menuju Yogya melalui jalur selatan, sebelum memasuki kota Yogya kami berbelok ke arah kota Magelang dengan tujuan dapat melihat puncak Merapi dari sisi barat namun cuaca saat itu mendung dan kabut sehingga kami tidak dapat melihat puncak Merapi.

Kami merencanakan untuk kembali ke Merapi pada besok paginya melalui Kaliurang, namun hal sama kami alami pagi itu pemandangan di sekitar puncak Merapi tertutup awan sehingga kami memutuskan untuk pergi ke candi Borobudur.
Meski sedikit kecewa, kami malam harinya kembali memutuskan untuk kembali lagi ke Merapi pada besok subuh.
Pukul 04.30 kami berangkat menuju Merapi melalui Kaliurang. Sekitar pukul 05.30 kami sudah mencapai kawasan wisata Kaliurang, kami sempat melihat kepulan asap kecil (wedhus gembel) mulai turun dari kepundan kawah Merapi.
Saya mengambil photo dari sebuah lapangan dekat dari pos pengawas Turgo yang berjarak kurang dari 5 Km dari puncak Merapi, pemandangan dari sini cukup jelas untuk melihat puncak dan sisi barat Merapi.

Detik-detik menjelang ketegangan dan kepanikan, dimana tanah mulai berguncang keras dan suara bergemuruh kencang terdengar.....
Sabtu 27 Mei 2006 pukul 05.53 waktu Yogya, terjadi gempa bumi dengan kekuatan 5,8 skala Richter yang menghacurkan bagian kota Yogya dan sekitarnya dan menelan korban jiwa. Hingga selesainya gempa saya belum menyadari bahwa gempa dimaksud adalah gempa tektonik, saya berfikir bahwa gempa tersebut adalah gempa vulkanik akibat aktivitas gunung Merapi dan akan terjadi letusan yang lebih besar setelah gempa terjadi.
Dan kalaupun memang terjadi saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan diri kami dan penduduk yang disekitar Merapi, selain itu bisa saja awan panas (wedhus gembel) bergerak jauh dan cepat hingga mencapai lokasi pemotretan.

Saat gempa terjadi terjadi ketegangan kepanikan di lapangan tersebut, orang berlarian menuju arah tempat evakuasi, namun kami bertahan tetap mengambil foto. Sambil terus mengambil foto saya mendengar suara seseorang mengucap Takbir menyebut kebesaran dan kekuasan “ILLAHI” bersamaan ketika lensa membuka “mata dan hati” saya berkata betapa kecilnya kekuasaan yang dimiliki seorang manusia dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, ketika kehendakNya terjadi maka terjadilah.

Saya bertiga kembali turun ke kota Yogya sekitar pukul 10.00, sepanjang perjalan terlihat kepanikan dari penduduk kota Yogya karena sempat beredar berita akan terjadi Tsunami, sambil melihat keadaan kota Yogya dan mendengar berita dari sebuah stasiun radio yang memberikan keadaan Yogya paska gempa saya masih berfikir bahwa gempa tersebut tidaklah besar meski berita telah menyebutkan terdapat korban jiwa sekitar 40 orang meninggal di Yogya. Saat saya berkemas barang di hotel sekital pukul 11 lebih sempat terjadi gempa susulan yang membuat penghuni hotel yang berada di lobi berlarian ke luar.

Kami memutuskan untuk meninggalkan Yogya kembali Jakarta sekitar pukul 12, ketika saya beristirahat selepas Purwokerto disebuah rumah makan, saya melihat berita dari sebuah stasiun TV yang mengabarkan jumlah korban yang meninggal mencapai lebih dari 3.000 orang, ribuan terluka, kehilangan harta bendanya dan bahkan orang yang mereka cintai. Menyadari betapa dasyatnya bencana yang terjadi, sedih dan pilu rasannya karena apa yang saya lakukan dengan kamera ini mungkin kecillah artinya, namun saya merasa yakin bahwa “kita” dapat melakukan sesuatu “bersama” yang lebih bernilai untuk membantu meringankan penderitaan sesama saudara kita yang tertimpa bencana



“Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan, sayang engkau tak duduk disampingku kawan. Banyak cerita yang semestinya kau saksikan, ditanah kering bebatuan.
Tubuhku berguncang dihempas batu jalanan, hati tergetar menambah kering rerumputan.
Perjalanan inipun seperti menjadi saksi, gembala kecil menangis sedih.
Kawan coba dengar apa jawabnya, ketika ku tanya mengapa.
Bapak ibunya telah lama mati di telan bencana tanah ini.
Sesampainya di laut, kukabarkan semuanya, kepada karang, kepada ombak, kepada matahari. Tetapi semua diam, tetapi semua bisu, tinggal aku sendiri menatap langit.
Barangkali disana ada jawabnya, mengapa di tanah ku terjadi bencana.
Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita.
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang …..”
(Ebiet G. Ade)

Rabu, 07 November 2007

Cambodia & Chiang Mai


Cambodia & Chiang Mai
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )





Setelah menempuh perjalanan dengan pesawat udara dari Jakarta menuju Batam kemudian dilanjutkan dengan ferry ke Singapore, sekitar jam 6 sore hari saya mendarat di bandara udara Svarnabhumi di Bangkok – Thailand, karena keesokan paginya saya masih harus meneruskan perjalanan menuju Phnom Penh – Cambodia jadi saya putuskan malam itu untuk night shoot di Bangkok. Tujuan saya adalah Grand Palace, sayangnya ketika saya tiba disana lampu yg menghiasi Grand Palace sudah dimatikan dan saya hanya melakukan night shoot di Wat Pho

Keesokan paginya saya berangkat menuju Phnom Penh ibukota dari Kerajaan Cambodia. Banyak hal terjadi disini, saat di imigrasi saya ditanya soal visa yang setahu saya untuk negara – negara anggota ASEAN bebas visa, daripada ngotot malah akhirnya menjadi masalah akhirnya saya harus merelakan sebesar US$ 20 untuk membuat visa dadakan. Tujuan saya ke Cambodia sebenarnya menuju kota Siam Rep tempat dimana terdapat Angkor Wat, tetapi saya juga ingin melihat bagaimana Cambodia saat ini.

Sambil menunggu waktu, karena saya tertinggal boat yang menuju Siam Rep saya berkeliling kota Phnom Penh dengan menggunakan taxi moto istilah keren untuk ojek disana. Objek yang saya kunjungi adalah Killing Field disini dulu adalah tempat pembantaian sekitar 17.000 manusia yang dieksekusi antara tahun 1975 hingga 1978 oleh Khmer Rouge, tempat nya cukup sunyi dan saya adalah satu – satu turis yang datang saat itu. Semula saya akan mengambil foto tulang belulang dan tengkorak manusia yang berada di semacam aquarium, tapi entah mengapa saya merinding sendiri saat melihatnya apalagi teringat saat saya melakukan pemotretan di Lawangsewu - Semarang beberapa waktu yang lalu dimana kamera saya sempat menangkap objek yang tidak terlihat oleh mata jadi saya tidak mengambil foto disini.

Keesokan paginya saya berangkat menuju Siam Rep dengan menggunakan boat sekitar 6 jam, dalam perjalan yang melalui sungai Tonle Sap banyak terdapat perkampungan nelayan diatas sungai ini.

Sampailah akhirnya saya di terminal boat di Phnom Krom yang berjarak 11 Km dari kota Siam Rep, kendaraan favorit saya selama di Cambodia adalah taxi moto alias ojek motor selain cukup murah kebanyakan pengemudinya bisa jadi merangkap tour guide untuk saya. Pengemudi ojek saya bernama Ha, bersama dia saya berkeliling kota Siam Rep. Saya bertanya kepada Ha bagaimana kalau saya menggunakan cara borongan selama saya di Siam Rep dan kebetulan dia setuju. Untuk satu harinya dia meminta US$ 10 (cukup murah dibanding biaya sekali jalan ke satu lokasi biasanya sekitar US$ 3). Yang mengherankan dan juga kagum, negara ini ternyata lebih suka menerima pembayaran dalam US Dollar ketimbang mata uangnya sendiri (hal yang sama dengan saat saya pergi ke Vietnam beberapa waktu ), selain itu hampir semua pengemudi ojek disini dapat berbahasa inggris dengan baik bukan cuma itu bahkan anak kecil penjaja di pasar dengan santun berucap dalam bahasa inggris.

Di Siam Rep banyak memiliki “candi” selain Angkor Wat ada banyak candi lainnya, salah satunya adalah Ta Prohm yang digunakan shooting film Tomb Raider.
Dengan membayar Ha US$ 20 selama dua hari, ternyata bukan hanya transport dan tour guide yang saya dapat, tetapi dia juga mereservasikan tempat untuk diner Apsara Dance performance plus menjadi body guard untuk saya dan dia cukup setia menunggu saya ke semua tempat yang saya kunjungi (he..he.. kapan lagi bisa punya body guard !!!).
Saat saya menikmati diner dan pertujukan tarian Apsara, kebetulan duduk disebelah saya seorang pejabat setingkat dirjen dari Kementerian Land Management, Urban Planning and Construction Kerajaan Cambodia – Mr. Than Vannara. Dia sempat bertanya apa saya berasal dari Thailand ? saya jawab bukan, saya berasal dari Indonesia dan dia langsung menjabat tangan saya dan bercerita tentang pembangunan di sini, bahkan dia meminta saya untuk mempromosikan Cambodia kepada para pengusaha di Indonesia untuk berinvestasi di Cambodia, saya cuma bengong dan berfikir “Emang siapa gue !!! dia pikir gue Duta Besar kalee”.

Setelah dua hari di Siam Rep saya kembali ke Phnom Penh dengan menggunakan bus selama 6 jam perjalanan, malam harinya saya menikmati keindahan kota Phnom Penh untuk keesokan harinya menuju ke Bangkok – Thailand.

Dari Bangkok saya langsung menuju stasiun kereta api untuk pergi menuju Chiang Mai yang memakan waktu sekitar 10 jam. Sesampainya di Chiang Mai saya sambil berjalan menuju penginapan sekalian melakukan foto hunting. Keesokan harinya saya bersepeda gunung di pegunungan Doi Pui, seru juga bersepeda menuruni pegunungan meski lengan saya benjut menabrak pohon (maklum saya belum pernah bersepeda offroad downhill). Setelah kurang lebih 4 jam bersepeda, saya kembali ke Chiang Mai untuk beristirahat karena esok harinya saya akan trekking dan caving (menyusuri gua) di daerah Chiang Dao. Di daerah pegunungan Chiang Dao juga tinggal beberapa suku minoritas seperti suku Karen, Lisu, Lahu, Akka, Hmong. Suku – suku ini kebanyakan hidup sebagai petani terutama opium (sejak 10 tahun yang lalu hal ini dilarang oleh pemerintah Thailand) dan juga sebagai pengrajin.

Sepulang dari Chiang Mai saya menyempatkan untuk mengunjungi kota Ayuthaya, disini banyak juga terdapat candi (candi lagi candi lagi……..)
Setelah selesai berkeliling kota Ayuthaya, saya melanjutkan perjalanan ke Bangkok karena saya ada janji dengan teman – teman dari club foto di Bangkok untuk melakukan pemotretan model.

Seselesainya melakukan pemotretan model saya kembali menuju hotel untuk beristirahat, karena besok harinya saya kembali ke Singapore untuk selanjutnya menuju Jakarta namun sebelumya malam itu saya juga mencoba merasakan pijatan jari – jari halus dari Thai Massage ……..

"Pekan Raya Jakarta"

"Pekan Raya Jakarta"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )



Sudah menjadi tradisi tahunan disetiap ulangtahun kota Jakarta diselenggarakannya Jakarta Fair atau lebih terkenal dengan Pekan Raya Jakarta (PRJ), dimulai sejak tahun 1968 Pekan Raya Jakarta semula bertempat di silang Monas yang kemudian dipindah lokasinya ke arena pameran Kemayoran. Lain halnya dengan pameran lainnya, Pekan Raya Jakarta berisikan acara yang beragam mulai dari pameran produk, informasi daerah hingga hiburan rakyat – mungkin Pekan Raya Jakarta lebih tepat disebut sebagai pasar malam sesuai dengan sejarah awalnya yang dikenal dengan Pasar Malam Gambir. Beragam acara beragam pula pengunjungnya, bagi saya ini adalah pertamakalinya mengunjungi Pekan Raya Jakarta dalam hidup saya.

Sisi lain yang menarik dari Pekan Raya Jakarta adalah banyaknya pedagang kerak telor, makanan khas “Betawi” yang sudah jarang untuk ditemui di Jakarta. Saat pulang saya sempat mencicipi kerak telor buatan bang Amat, Pekan Raya Jakarta memiliki makna khusus bagi bang Amat yang sehari – harinya berdagang makanan kecil di sebuah SD di pinggiran Jakarta. Baginya Pekan Raya Jakarta mengingatkan sepenggal budaya “betawi” yang kian hari kian ditinggalkan oleh warga Betawi – meski itu hanya berupa kerak telor, setidaknya juga bagi bang Amat berjualan kerak telor mendatangkan penghasilan tambahan baginya yang kebetulan bulan ini sekolah sedang libur.
Setiap hari sedikitnya bang Amat menjual tigapuluh kerak telor yang dijual Rp. 8.000. untuk kerak telor yang menggunakan telur bebek. Memang lain rasanya kerak telor yang menggunakan telur ayam dibandingkan dengan kerak telor dengan telor bebek terasa lebih gurih. Namun dibalik hirukpikuknya Pekan Raya Jakarta masih saja menyisakan kesusahan bagi para pedagang kerak telor yang sering dikejar – kejar petugas trantib dengan alasan mengganggu ketertiban padahal bila mereka berjualan di dalam arena Pekan Raya Jakarta mereka harus membayar lima juta rupiah per lapaknya –bukanlah nilai yang kecil bagi pedagang semacam bang Amat. Tapi itulah kenyataan kehidupan, dimana “manusia kadang menjadi serigala bagi manusia lainnya” tidak peduli orang mampu atau tidak, komersialisasi sudah menjadi penyakit baru dari masyarakat Jakarta.

Life is Hard “ Kampoeng Moeka Antjol ”


Life is Hard “ Kampoeng Moeka Antjol ”
(Benny “Benjie” Herlambang Photojournal)


Menyusuri daerah Kota Tua – Jakarta yang memang masih menyimpan sejumlah cerita dari para penduduknya, sebut saja “Kampung Muka – Ancol”. Meski bagian dari kampung bersejarah “Kampung Bandan” yang terpisahkan oleh jalan Lodan, Kampung Muka bisa dikatakan tidak lebih dari sekedar pemukiman liar yang kumuh.

Kontras kehidupan di Kampung Muka ini terlihat jelas dengan derunya pembangunan apartemen mewah dan pusat perbelanjaan yang makin menghimpit keberadaan kampung ini. Jalan sempit dan becek khas perkampungan kumuh adalah warna dari Kampung Muka yang berada sepadan dengan rel kereta yang menuju Stasiun Beos.


Meski berkesan kumuh, namun demikian para penghuni dari kampung ini cukup ramah seorang ibu pedagang nasi uduk istri sopir taksi ini berasal dari Lampung dan sudah tinggal di perkampungan ini selama 30 tahun mau mengantar kami berkeliling kampung muka ini. Begitu pula dengan para tetangga lainnya kehidupan mereka masih dilingkupi kebersamaan, satu sisi lain kehidupan di Jakarta yang semakin individualis dan penuh dengan kerakusan & ketamakan hidup.

Life is Hard “ Ojek Sepeda ”

Life is Hard “ Ojek Sepeda ”
(Benny “Benjie” Herlambang Photojournal)

“di sana rumahku dalam kabut biru hatiku sedih di hari minggu…..
…..di sana kasihku berdiri menunggu di batas waktu yang telah tertentu…..
..... ke Jakarta aku kan kembali walaupun apa yang kan terjadi ke Jakarta aku kan kembali walaupun apa yang kan terjadi.....”
Writen : Tonny Koeswoyo, Vocal : Koes Plus


Syair lagu jadul Koes Plus diatas mengingatkan kita akan daya tarik Ibu Kota Jakarta, meski pepatah mengatakan “Sekejam – kejamnya ibu tiri masih lebih kejam Ibu Kota” tetapi tetap saja Jakarta memiliki daya tarik bagi para pendatang untuk mengadu nasib. Entah kehidupan apa yang mereka yang jalani, mulai dari Eksekutif Puncak, Expatriat, hingga pemulung dan tunawisna, namun itulah kontrasnya warna – warni gambaran kehidupan di Jakarta.

Ditengah hiruk pikuknya dan gemerlapnya kehidupan, satu sisi kehidupan yang mungkin sudah sangat jarang ditemui di Jakarta adalah “Ojek Sepeda”. Ojek Sepeda ini masih dapat ditemui di sekitaran daerah Kota, seperti Glodok, Jembatan Lima, Mangga Dua, Tanjung Priok. Kehidupan pengojek sepeda ini juga mencerminkan kerasnya kehidupan mereka. Demi sepeser Rupiah untuk menghidupi diri dan keluarganya, para pengojek sepeda ini rela berpanas dibawah teriknya matahari dan berbasah kuyup di guyuran hujan.

Pengojek sepeda yang rata – rata mulai berusia lanjut, seakan tidak memiliki pilihan hidup lain untuk menikmati hari tuanya selain menggoes sepeda yang usianya juga tua, mereka mengantar para penumpangnya ketujuan yang diminta. Berapa sih hasil dari goesan mereka ? Sekali jalan rata – rata para pengojek sepeda ini memasang tarif antara Rp. 3000 sampai Rp. 5000 tergantung kepada jarak yang ditempuhnya, sedang pendapatan hariannya ? tergantung nasib mereka hari itu, apa mendapatkan penumpang atau tidak.
Inilah potret sisi lain kehidupan di Jakarta dan meski bagaimanapun mereka memang ada di tengah kehidupan ini

Selasa, 06 November 2007

In Search Of Harmony


"In Search Of Harmony"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )


Perjalanan saya ke Tibet (Roof of The World) sebenarnya untuk trekking ke Base Camp 2 Mt. Everest, dimulai dari Guangzhou menuju Chengdu kemudian Gonggar. Seselesainya melukakan trekking saya melanjutkan perjalanan menuju ke Shangri-la (The Lost Horizon), Lijiang, Dali dan Kunming. In Search Of Harmony merupakan rangkuman dari 4 journal dari yang foto yang dapat saya ambil selama perjalanan disana :
  • Anak Kecil Penjual Kue dari Lijiang
  • Mei – mei (Adik Perempuan)
  • Pelangi Diatas China
  • Jalan Pulang
Dan tentunya seselesainya saya dari semua kota-kota tersebut saya menuju kota Guangzhou (Entry dan Exit Point) untuk menemui “wo de ai ren” (orang yang saya cintai) – Xiayue.