Rabu, 07 November 2007

"Pekan Raya Jakarta"

"Pekan Raya Jakarta"
( Benny "Benjie" Herlambang Photojournal )



Sudah menjadi tradisi tahunan disetiap ulangtahun kota Jakarta diselenggarakannya Jakarta Fair atau lebih terkenal dengan Pekan Raya Jakarta (PRJ), dimulai sejak tahun 1968 Pekan Raya Jakarta semula bertempat di silang Monas yang kemudian dipindah lokasinya ke arena pameran Kemayoran. Lain halnya dengan pameran lainnya, Pekan Raya Jakarta berisikan acara yang beragam mulai dari pameran produk, informasi daerah hingga hiburan rakyat – mungkin Pekan Raya Jakarta lebih tepat disebut sebagai pasar malam sesuai dengan sejarah awalnya yang dikenal dengan Pasar Malam Gambir. Beragam acara beragam pula pengunjungnya, bagi saya ini adalah pertamakalinya mengunjungi Pekan Raya Jakarta dalam hidup saya.

Sisi lain yang menarik dari Pekan Raya Jakarta adalah banyaknya pedagang kerak telor, makanan khas “Betawi” yang sudah jarang untuk ditemui di Jakarta. Saat pulang saya sempat mencicipi kerak telor buatan bang Amat, Pekan Raya Jakarta memiliki makna khusus bagi bang Amat yang sehari – harinya berdagang makanan kecil di sebuah SD di pinggiran Jakarta. Baginya Pekan Raya Jakarta mengingatkan sepenggal budaya “betawi” yang kian hari kian ditinggalkan oleh warga Betawi – meski itu hanya berupa kerak telor, setidaknya juga bagi bang Amat berjualan kerak telor mendatangkan penghasilan tambahan baginya yang kebetulan bulan ini sekolah sedang libur.
Setiap hari sedikitnya bang Amat menjual tigapuluh kerak telor yang dijual Rp. 8.000. untuk kerak telor yang menggunakan telur bebek. Memang lain rasanya kerak telor yang menggunakan telur ayam dibandingkan dengan kerak telor dengan telor bebek terasa lebih gurih. Namun dibalik hirukpikuknya Pekan Raya Jakarta masih saja menyisakan kesusahan bagi para pedagang kerak telor yang sering dikejar – kejar petugas trantib dengan alasan mengganggu ketertiban padahal bila mereka berjualan di dalam arena Pekan Raya Jakarta mereka harus membayar lima juta rupiah per lapaknya –bukanlah nilai yang kecil bagi pedagang semacam bang Amat. Tapi itulah kenyataan kehidupan, dimana “manusia kadang menjadi serigala bagi manusia lainnya” tidak peduli orang mampu atau tidak, komersialisasi sudah menjadi penyakit baru dari masyarakat Jakarta.

Tidak ada komentar: