Kamis, 08 November 2007

“Ketika Lensa Membuka Mata dan Hati”


Perjalanan saya kali ini semula hanyalah memanfaatkan waktu libur panjang pada tanggal 25 hingga 28 Mei 2006 lalu. Saya berempat dengan rekan Irawan, Ruki serta Indra merencanakan pergi Yogya untuk hunting foto di pegungan Merapi, yang saat itu sedang dalam keadaan status siaga.
Namun perjalanan ini menjadi lain ketika kami berada di Merapi pada tanggal 27 Mei 2006, disaat bersamaan terjadi gempa bumi yang melanda Yogya dan sekitaranya



“Ketika Lensa Membuka Mata dan Hati”
Simpati kepada korban bencana alam Gn. Merapi dan gempa bumi Yogyakarta
( Benny “Benjie” Herlambang Photojournal )


Kami berangkat dari Jakarta dengan menempuh perjalanan darat menuju Yogya melalui jalur selatan, sebelum memasuki kota Yogya kami berbelok ke arah kota Magelang dengan tujuan dapat melihat puncak Merapi dari sisi barat namun cuaca saat itu mendung dan kabut sehingga kami tidak dapat melihat puncak Merapi.

Kami merencanakan untuk kembali ke Merapi pada besok paginya melalui Kaliurang, namun hal sama kami alami pagi itu pemandangan di sekitar puncak Merapi tertutup awan sehingga kami memutuskan untuk pergi ke candi Borobudur.
Meski sedikit kecewa, kami malam harinya kembali memutuskan untuk kembali lagi ke Merapi pada besok subuh.
Pukul 04.30 kami berangkat menuju Merapi melalui Kaliurang. Sekitar pukul 05.30 kami sudah mencapai kawasan wisata Kaliurang, kami sempat melihat kepulan asap kecil (wedhus gembel) mulai turun dari kepundan kawah Merapi.
Saya mengambil photo dari sebuah lapangan dekat dari pos pengawas Turgo yang berjarak kurang dari 5 Km dari puncak Merapi, pemandangan dari sini cukup jelas untuk melihat puncak dan sisi barat Merapi.

Detik-detik menjelang ketegangan dan kepanikan, dimana tanah mulai berguncang keras dan suara bergemuruh kencang terdengar.....
Sabtu 27 Mei 2006 pukul 05.53 waktu Yogya, terjadi gempa bumi dengan kekuatan 5,8 skala Richter yang menghacurkan bagian kota Yogya dan sekitarnya dan menelan korban jiwa. Hingga selesainya gempa saya belum menyadari bahwa gempa dimaksud adalah gempa tektonik, saya berfikir bahwa gempa tersebut adalah gempa vulkanik akibat aktivitas gunung Merapi dan akan terjadi letusan yang lebih besar setelah gempa terjadi.
Dan kalaupun memang terjadi saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan diri kami dan penduduk yang disekitar Merapi, selain itu bisa saja awan panas (wedhus gembel) bergerak jauh dan cepat hingga mencapai lokasi pemotretan.

Saat gempa terjadi terjadi ketegangan kepanikan di lapangan tersebut, orang berlarian menuju arah tempat evakuasi, namun kami bertahan tetap mengambil foto. Sambil terus mengambil foto saya mendengar suara seseorang mengucap Takbir menyebut kebesaran dan kekuasan “ILLAHI” bersamaan ketika lensa membuka “mata dan hati” saya berkata betapa kecilnya kekuasaan yang dimiliki seorang manusia dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, ketika kehendakNya terjadi maka terjadilah.

Saya bertiga kembali turun ke kota Yogya sekitar pukul 10.00, sepanjang perjalan terlihat kepanikan dari penduduk kota Yogya karena sempat beredar berita akan terjadi Tsunami, sambil melihat keadaan kota Yogya dan mendengar berita dari sebuah stasiun radio yang memberikan keadaan Yogya paska gempa saya masih berfikir bahwa gempa tersebut tidaklah besar meski berita telah menyebutkan terdapat korban jiwa sekitar 40 orang meninggal di Yogya. Saat saya berkemas barang di hotel sekital pukul 11 lebih sempat terjadi gempa susulan yang membuat penghuni hotel yang berada di lobi berlarian ke luar.

Kami memutuskan untuk meninggalkan Yogya kembali Jakarta sekitar pukul 12, ketika saya beristirahat selepas Purwokerto disebuah rumah makan, saya melihat berita dari sebuah stasiun TV yang mengabarkan jumlah korban yang meninggal mencapai lebih dari 3.000 orang, ribuan terluka, kehilangan harta bendanya dan bahkan orang yang mereka cintai. Menyadari betapa dasyatnya bencana yang terjadi, sedih dan pilu rasannya karena apa yang saya lakukan dengan kamera ini mungkin kecillah artinya, namun saya merasa yakin bahwa “kita” dapat melakukan sesuatu “bersama” yang lebih bernilai untuk membantu meringankan penderitaan sesama saudara kita yang tertimpa bencana



“Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan, sayang engkau tak duduk disampingku kawan. Banyak cerita yang semestinya kau saksikan, ditanah kering bebatuan.
Tubuhku berguncang dihempas batu jalanan, hati tergetar menambah kering rerumputan.
Perjalanan inipun seperti menjadi saksi, gembala kecil menangis sedih.
Kawan coba dengar apa jawabnya, ketika ku tanya mengapa.
Bapak ibunya telah lama mati di telan bencana tanah ini.
Sesampainya di laut, kukabarkan semuanya, kepada karang, kepada ombak, kepada matahari. Tetapi semua diam, tetapi semua bisu, tinggal aku sendiri menatap langit.
Barangkali disana ada jawabnya, mengapa di tanah ku terjadi bencana.
Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita.
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang …..”
(Ebiet G. Ade)

Tidak ada komentar: